Wounded Inner Child dan Langkah untuk Pulih

Why you don’t let me cry? I’m very sad right now! Why you always angry when I’m crying?

Pertanyaan yang diajukan setengah berteriak pada suatu malam yang sepi itu menyentak saya. Itu adalah pertama kalinya anak sulung saya yang saat itu berusia 11 tahun protes karena saya menyuruhnya berhenti menangis. Tepatnya memarahinya karena terus menerus menangis.

Sejak anak itu bayi, saya selalu bermasalah dengan tangisan dan tantrumnya. Saya nggak pernah bisa menjadi bahu yang nyaman baginya untuk bersandar saat ia mengalami kesulitan mengelola emosi.

Saya ingat sekali, di malam pertama saya pulang dari rumah sakit bersama bayi merah yang baru lahir 4 hari sebelumnya, saya mengetuk kamar nenek saya. Saat itu pukul 11 malam dan si bayi menangis tidak berhenti meski sudah diganti popok dan disusui. Saya serahkan bayi mungil ke nenek saya sambil setengah menangis, “Dia nangis terus, Mi. Nia udah nggak ngerti harus ngapain lagi.”

Almarhumah nenek mengambil cicit pertamanya itu sambil menjawab lembut, “Ya sudah, adek sama mami aja. Mbak Nia tidur aja.” Lantas saya pergi masuk kamar saya tanpa mempedulikan bayi yang masih lemah itu.

Setelah itu ada masa-masa saya merasa bersalah karena anak-anak baik ini harus lahir dari ibu seperti saya. Ibu yang bahkan nggak bisa mengontrol emosinya dan nggak bisa membangun hubungan emosi yang kuat dengan mereka. Ada momen di mana saya merasa lebih baik saya mati aja supaya mereka bisa dapat punya masa kecil yang lebih bahagia.

Tentang Inner Child

I am a bad mom. I know. Tapi saya selalu membela diri bahwa ya saya dibesarkan dengan cara seperti itu. Bahkan lebih parah daripada saya membesarkan anak-anak saya.

Represi emosi, pengabaian sampai pukulan fisik adalah hal yang biasa diterima. Bahkan saya nggak ingat tuh kapan terakhir ibu saya memeluk saya. Bagi orang tua saya membesarkan anak berarti memenuhi kebutuhan pokok. Sandang, pangan, papan, sekolah bisa kami dapatkan dengan baik, alhamdulillah. Tapi, kebutuhan emosional?

Seperti kebanyakan anak yang lahir di tahun 90-an, didikan keras adalah cara saya dibesarkan. Ditambah lagi dengan perceraian orang tua saya yang membuat kami terpaksa dewasa sebelum waktunya.

Melihat saya dari luar, sahabat-sahabat yang tahu bahwa saya adalah produk broken home selalu memuji, “Kamu hebat, Fa. Meski pernah melalui masa kecil yang sulit tapi baik-baik saja. Nggak narkoba, nggak jadi anak rebel.”

Awalnya saya pun merasa begitu. Bahwa Allah itu baik sekali menjaga saya tetap waras dengan segala drama yang terjadi pada masa kecil. Tapi setelah menikah dan punya anak, saya baru sadar kalau saya sebenarnya nggak baik-baik aja. Kesehatan mental saya nggak baik.

Wounded inner child katanya. Istilah populer ini saya kenal beberapa tahun lalu. Apa itu? Banyak penjelasan tentang inner child, dan berikut adalah kutipan dari buku Luka, Performa, Bahagia yang sedang saya baca.

Inner child adalah bagian dalam diri seseorang yang merupakan hasil dari pengalaman masa kecil, baik itu pengalaman positif maupun negatif.

Lucia Capacchione

Wounded Inner Child

Orang dengan masa kecil yang hangat dan penuh dengan pengalaman bahagia akan memiliki happy inner child. Sebaliknya, mereka yang lebih banyak mendapatkan pengalaman negatif saat kecil akan mengalami trauma yang tersimpan dalam alam bawah sadar. Trauma dan emosi negatif ini akan muncul melalui ego personality pada saat dewasa.

Ketika saya menyadari bahwa saya memiliki wounded inner child, saya jadi menyalahkan orang tua saya. Secara perlahan saya menjauhi orang tua, jarak ribuan kilometer di antara kami menjadi alasan tepat untuk semakin jarang berbicara dengan mereka.

Ketika hati kecil saya mengingatkan, maka ego saya akan berkata, “Biarin aja, dulu mereka nggak peduli kok sama saya. Ya sekarang gantian lah. Toxic parents memang harus dijauhi.” Tapi, apa saya bahagia? Enggak, tuh.

Saya nggak bisa merasa bahagia baik untuk hal kecil maupun besar. Kalaupun saya senang maka sifatnya sementara. Sampai suami saya merasa terganggu dengan ketidakbahagiaan saya. Saya pun menyalahkan dia karena tidak bisa membahagiakan saya. Pokoknya semua luka, trauma dan ketidakbahagiaan saya salahkan orang lain sebagai penyebabnya.

Baca Juga: [Movie Review] Motherhood: Saya Banget

Perjalanan Berdamai dengan Inner Child

Beberapa bulan lalu, saya dapat kesempatan untuk mengikuti self-healing therapy secara online. Temanya adalah menyembuhkan wounded inner child. Di sebuah sesi kami diminta untuk berbicara dengan sosok yang kami anggap melukai kami saat kecil. Tapi entah kenapa saya nggak bisa memilih siapa yang harus saya ajak bicara.

Ibu saya kah yang mengasuh saya dengan keras dan hanya melihat keberadaan saya saat anak sulungnya ini berbuat kesalahan. Atau ayah saya kah yang meninggalkan kami dan tidak pernah hadir sebagai sosok ayah di saat kami membutuhkan?

Baca Juga: Anak Bungsu Lebih Disayang Oleh Orang Tua, Benarkah?

Meski saya menangis tersedu-sedu dan berusaha memaafkan, tapi hati saya tidak tuntas. Ada resistensi. Masa iya segampang itu memaafkan orang yang sudah membuat kesehatan mental saya buruk seperti ini.

buku luka performa bahagia

Sampai saya mengikuti Parade Happy Inner Child Ruang Pulih yang dipandu Ibu Intan Maria Lie dan Mas Adi Prayuda, penulis buku Luka, Performa, Bahagia. Dari prolog buku Luka, Performa, Bahagia saya mendapatkan kesadaran bahwa pemahaman saya terhadap perilaku orang tua dengan apa yang sebenarnya dirasakan oleh orang tua saya bisa saja berbeda.

“Prak!!!
Papiku membanting cikrak itu di depanku,
Beliau sendiri sedang marah kepada dirinya karena
tidak dapat menghentikan tangisku.
Aku melihatnya sedang marah padaku dan tidak mencintaiku.”

Intan Maria Lie

Tulisan itu saja menyadarkan saya bahwa orang tua tidak sepenuhnya bersalah atas trauma kita. Betul, pengalaman dipukul dan diabaikan itu nyata. Tapi, seperti kata mas Adjie Santosoputro, orang tua juga memiliki keterbatasan dan luka inner child mereka sediri. Dalam kasus saya mungkin selain luka inner child, orang tua saya juga memiliki masalah dengan pernikahan mereka sendiri sehingga tidak mampu mengelola emosi mereka sendiri.

Karena orang tua tidak sepenuhnya salah dan kita tidak sepenuhnya benar, berarti tidak ada yang perlu dimaafkan. Tapi kita perlu berjuang untuk pulih dari luka masa lalu karena kita lah yang bertanggung jawab untuk menyembuhkan luka itu. Bukan orang lain.

Karena itulah saya mengikuti kelas Innerchild Healing yang bisa diperoleh dengan harga diskon kalau membeli buku Luka, Performa, Bahagia. Langkah pertama memang tidak pernah mudah. Menulis artikel ini saja sulit untuk saya.

Membuka luka dan menjadikannya konsumsi publik tidak mudah bagi saya. Tapi seperti kata psikiater dr. I Gusti Rai Wiguna, SpKJ yang juga mengampu kelas Innerchild Healing bareng Ibu Intan Maria Lie, langkah pertama memang yang paling sulit dalam proses pemulihan. Hanya saja harus dihadapi kalau ingin pulih, kan.

So, here it is, artikel pertama saya dalam usaha memproses luka masa lalu demi masa depan yang lebih baik. Karena saya ingin menjadi ibu yang lebih baik. Saya ingin memberi sepenuh cinta dan kebahagiaan untuk anak-anak saya, supaya kelak mereka bisa menjadi pribadi dengan happy inner child.

Bismillah. Doakan saya, ya.

Suka dengan artikel ini? Yuk bagikan :)

alfakurnia

Lifestyle blogger yang suka berbagi tentang review produk, kisah sehari-hari, pengalaman parenting dan banyak lagi. Juga suka menulis resensi buku dan produk skincare di blog alfakurnia.com

One thought on “Wounded Inner Child dan Langkah untuk Pulih

  1. Saya terbawa ke blog ini sewaktu mencari informasi ttg prosedur penyaluran siswa. Tertarik dengan judulnya, akhirnya sy baca artikelnya dari awal sampai akhir. Bagus banget Mba, salut dengan keterbukaannya, juga penuturan yang terstruktur dan mengalir jelas. Sangat mengena di pikiran dan perasaan saya, karena beberapa thn teakhir ini sy juga merasakan keluarnya “ganjelan2” di masa kecil yang herannya baru muncul keluar setelah beberapa puluh tahun berlalu. Mudah2an semua pengalaman yang kita lalui pada masa kecil baik atau buruk bisa membuat kita menjadi pribadi yang lebih pintar, bijak, dan besar hati. Salam hangat 🙂

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top
error: Content is protected !!