Per tanggal 14 Juli ini, kasus positif Covid-19 sudah mencapai 40ribu per hari. Kondisi ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan penambahan kasus Covid-19 tertinggi di dunia, seperti yang dikutip dari situs Tempo.co. Senada dengan Tempo, Bloomberg.com menyatakan bahwa Indonesia telah melampaui jumlah kasus harian Covid-19 India.
Ketika angka pertambahan kasus ini dirilis oleh akun-akun Instagram semacam pandemictalks dan kawalcovid19.id, banyak komentar bernada marah. Banyak yang beranggapan bahwa data tersebut dilebih-lebihkan dan media-media tersebut dituduh menyebarkan ketakutan.
Padahal, kalau tidak mau melihat angka, hanya dengan mengamati sekitar kita pasti sadar bahwa sejak bulan lalu banyak sekali pesan dukacita yang kita terima melalui Whatsapp. Begitu juga unggahan-unggahan serupa di media sosial.
Hampir setiap hari ada berita kehilangan entah itu teman, kerabat, atasan, bawahan, pejabat atau artis karena Covid-19. Serta kabar penuhnya fasilitas kesehatan sehingga tidak sedikit pasien Covid-19 kesulitan mendapatkan tempat perawatan sampai akhirnya mereka berpulang ke rahmatullah.
Banjir Informasi Tidak Selalu Benar
Karena panik atau takut, banyak yang kemudian berusaha mengkonsumsi multivitamin atau makanan tertentu untuk meningkatkan imunitas. Dan para pasien Covid-19 yang melakukan isolasi mandiri pun mengkonsumsi berbagai obat berupa antibiotik atau antivirus tanpa arahan dokter.
Di sisi lain masih banyak yang tidak percaya Covid-19 dan malas melakukan protokol kesehatan sampai menentang vaksinasi.
Terbentuknya dua sisi yang berlawanan ini diakibatkan karena informasi tentang Covid-19 yang menyebar tak terbendung bak banjir melalui media sosial. Atau sering juga disebut dengan infodemik. Sayangnya, tidak semua informasi tersebut valid. Ada yang disebut misinformasi dan disinformasi.
Misinformasi dan Disinformasi
Misinformasi mengacu pada informasi salah dan tidak akurat yang biasanya tersebar luas tanpa ada niatan untuk menipu atau merugikan orang lain. Contohnya adalah menyebarkan informasi tentang susu merek tertentu yang bisa menyembuhkan Covid-19 atau menaikkan imunitas tubuh.
Informasi ini tentu saja salah. Karena menurut para ahli gizi dan kesehatan, susu tersebut tidak memiliki kandungan yang lebih istimewa dibandingkan dengan susu lain. Tapi informasi tersebut disebarkan tanpa tahu benar atau salahnya tanpa ada niat merugikan orang lain, meski akhirnya terjadi panic buying selama beberapa waktu.
Sedangkan disinformasi adalah informasi salah yang sengaja dibuat untuk menipu atau merugikan orang lain. Jadi si pembuat atau penyebar informasi ini sebenarnya tahu kalau itu tidak benar tapi sengaja menyebarkan. Tujuannya apa? Ya, biasanya sih untuk bikin resah masyarakat, bikin kacau atau supaya orang yang menerima info itu mengikuti opininya. Hmmm, halo, dr. Lois?
Nah, kedua jenis informasi inilah yang kemudian sering kita kenal dengan istilah hoax. Dan pada pandemi Covid-19 ini banyak sekali hoax yang beredar. Menurut catatan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), sampai 11 Maret 2021 saja ada 1.471 disinformasi dan hoax kesehatan tentang Covid-19. Bagaimana datanya sekarang ya? Pasti lebih banyak lagi.
Baca Juga: STOP Pneumonia pada Anak Dimulai dari Keluarga
Penyebab dan Dampak Hoax Kesehatan
Gemas dengan banyaknya hoax kesehatan yang saya terima melalui aplikasi pesan instan maupun media sosial, saya mengikuti Workshop Cek Fakta Kesehatan Mengatasi Hoaks Kesehatan selama Pandemi Covid-19 yang diadakan oleh tim Cek Fakta Tempo.
Dari materi yang disampaikan oleh Ika Ningtyas, salah seorang pemeriksa fakta Tempo, saya jadi mengerti kenapa orang Indonesia mudah sekali termakan hoaks.
Saat ini Indonesia merupakan pengguna internet keempat terbesar di dunia. Sayangnya ini tidak diimbangi dengan literasi digital. Mengutip materi dari Mbak Ika, tingkat literasi di Indonesia menempati urutan ke-70 di dunia dengan indeks literasi digital Indonesia yang berada di skala sedang menurut Kominfo.
Inilah yang menyebabkan pengguna internet belum bisa membedakan mana informasi yang sesuai fakta dan mana yang hoax.
Apa akibat dari beredarnya hoax kesehatan saat pandemic Covid-19 ini? Menurut Siti Aisah, Facebook’s Global Health Fellow, dampak dari dis/misinformasi kesehatan adalah:
- Menyebabkan kebingungan dan kepanikan di masyarakat.
- Ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah, otoritas kesehatan dan ilmu pengetahuan (sains).
- Demotivasi untuk mengikuti perilaku protektif yang direkomendasikan.
- Sikap apatis yang memiliki konsekuensi besar karena berkaitan dengan kualitas hidup masyarakat. Sikap ini bisa membahayakan kesehatan bahkan sampai menimbulkan risiko kematian.
Lalu bagaimana cara supaya bisa terhindar dari informasi menyesatkan terutama hoax kesehatan? Kita dapat melakukan langkah-langkah yang disarankan oleh kedua narasumber Workshop Cek Fakta Kesehatan Mengatasi Hoaks Kesehatan selama Pandemi Covid-19 ini:
Terhindar dari Hoax Kesehatan dengan Cara Berikut:
1. Kenali Situs Abal-abal.
Menurut Menkominfo ada 900ribu… Iya sembilan ratus ribu ya, bukan 900 aja… situs penyebar hoax. Nah, cara mengenali mana situs yang legit (kalau ikut istilah milenial), mana yang abal-abal adalah dengan:
(Infografis)
- Cek alamat situs di who.is dan domainbigdata.com dan sebagainya.
- Periksa perusahaan media di direktori dewan pers https://dewanpers.or.id/data/perusahaanpers .
- Cek detil visual karena ada beberapa media abal-abal yang menyaru media mainstream hanya saja nampak dari logonya yang jelek atau kualitas foto yang tidak bagus
- Waspada jika terlalu banyak iklan karena media abal-abal sekadar mencari klik untuk mendapatkan penghasilan dari iklan.
- Bandingkan ciri yang menjadi pakem khas jurnalistik di media mainstream. Media yang resmi akan mencantumkan nama penulis dan mengutip narasumber yang kredibel. Bahkan bisa dilihat juga dari cara menulis tanggal di badan berita serta hyperlinknya mengarah ke mana.
- Cek About Us. Media resmi pasti memiliki laman About Us yang sesuai UU Pers, yaitu menampilkan badan hukum dan memiliki penanggung jawab. Selain itu juga biasanya dilengkapi daftar nama orang-orang di balik media tersebut. Sedangkan media abal-abal cenderung anonim.
- Waspada terhadap judul yang sensasional. Ada kecenderungan berita yang clickbait di mana isi berita kadang tidak seperti judulnya. Jadi biasakan untuk membaca berita sampai selesai untuk memahami konteks sebuah informasi.
- Cek ke situs media mainstream sebagai perbandingan. Serta lakukan verifikasi untuk memastikan sumber pertama informasi tersebut dan bagaimana konten aslinya.
- Cek foto utama apakah pernah dimuat di situs lain. Bisa dengan google reverse image, Yandex dan Tineye untuk foto atau toolInVID untuk video.
2. Cek Sumber Aslinya.
Cek siapa yang membagikan informasi tersebut dan bagaimana mereka mendapatkannya. Waspadai informasi dari Whatsapp yang sudah ‘forwarded many times”.
3. Cek Tanggal.
Periksa juga apakah informasi tersebut merupakan informasi terbaru dan relevan dengan kejadian terkini. Serta apakah judul, gambar atau statistik yang digunakan sesuai konteks. Karena ternyata banyak informasi lama yang ditulis ulang dan dikaitkan dengan kondisi terkini untuk meresahkan masyarakat.
4. Cek Bukti Pendukung Lain.
Untuk informasi kesehatan kita bisa melihat sumber referensi yang terpercaya seperti website resmi institusi atau organisasi (WHO, CDC, Kementerian Kesehatan, BPOM, IDI). Cek juga jurnal-jurnal ilmiah resmi di the New England Journal of Medicine, the British Medical Journal, Nature Medicine, dll.
5. Cek Bias.
Bias atau kecenderungan kita terhadap seseorang, ide atau opini bisa mempengaruhi penilaian kita terhadap sebuah informasi.
6. Cek Organisasi Pemeriksa Fakta.
Cek berita atau informasi yang ditemukan dengan hasil verifikasi organisasi pemeriksa fakta dalam lingkup nasional maupun internasional. Dalam lingkup nasional sekarang ada Cek Fakta Tempo dan beberapa media nasional lain yang memiliki pemeriksa fakta.
Caranya mudah, tinggal ketik saja kata kunci atau judul informasi yang kita terima di mesin pencari atau situs https://cekfakta.tempo.co/ nanti akan keluar hasil verifikasi tim pencari fakta. Kalau saya menerima berita yang meragukan, saya akan mencari kata kunci berita tersebut dengan tambahan kata ‘hoax’ atau ‘disinformasi’. Misalnya: disinformasi susu binatang bisa menyembuhkan Covid-19, maka akan keluar hasilnya sebagai berikut:
Panjang ya alur untuk memastikan sebuah informasi itu valid atau hanyalah hoaks. Cara mudahnya ya yang terakhir itu menurut saya. Nah, jadi tidak ada alasan lagi untuk menyebarkan sebuah informasi sebelum tahu kebenarannya, ya. Tentu kita tidak mau menjadi penyebar misinformasi apalagi disinformasi, apalagi kalau di kemudian hari hoax kesehatan itu bisa membahayakan orang lain.
Setelah mengetahui cara memeriksa fakta atau hoaks sebuah berita, saya harap ada workshop atau pelatihan cara memberitahukan bahwa informasi tersebut hoaks terutama di whatsapp group dengan baik. Atau mungkin teman-teman ada yang tahu caranya? Silakan tulis tipsnya di komentar ya.
Sumber:
– https://www.bloomberg.com/news/articles/2021-07-14/indonesia-s-daily-cases-surge-past-india-marking-new-epicenter
– https://nasional.tempo.co/read/1483096/penambahan-kasus-covid-19-harian-indonesia-kembali-jadi-yang-tertinggi-di-dunia
– https://www.kompas.com/tren/read/2020/09/19/191848065/catatan-kominfo-ada-1016-disinformasi-dan-hoaks-seputar-covid-19
– https://tekno.tempo.co/read/1480452/ahli-gizi-ugm-tegaskan-susu-beruang-bukan-obat-covid-19
– Materi Workshop Cek Fakta Kesehatan Mengatasi Hoaks Kesehatan selama Pandemi Covid-19
alfakurnia
Lifestyle blogger yang suka berbagi tentang review produk, kisah sehari-hari, pengalaman parenting dan banyak lagi. Juga suka menulis resensi buku dan produk skincare di blog alfakurnia.com