- by alfakurnia
Review novel kali ini adalah bagian kedua dari rekomendasi 4 Novel Metropop Manis Untuk Temani Waktu Luang. 2 novel yang terakhir ini sebenarnya justru 2 buku pertama yang saya baca setelah mengalami reading slump cukup lama. Dan berada di urutan terakhir bukan berarti novel-novel ini tidak bagus. Hasil review novel di Goodreads masih cukup bagus kok. Kita mulai aja yuk.
Baca Juga: 4 Novel Metropop Manis Untuk Temani Waktu Luang (Bagian 1)
Review Novel Metropop Manis Untuk Temani Waktu Luang
After Wedding (Le Mariage)
Penulis: Pradnya Paramitha
Penerbit: Elex Media Komputindo
Blurp:
Reya Gayatri tak pernah menduga bahwa keputusannya menikah dengan celebrity chef Radina Alief Pramoedya merupakan keputusan paling gila dalam hidupnya. Selama 30 tahun, Reya terbiasa dengan hidup yang tertata. Tetapi, kini, hidup dosen muda di jurusan Ilmu Politik itu terasa seperti roller coaster.
Sebagai public figure, Rad terbiasa bertemu dengan berbagai macam orang dan tahu bagaimana cara berhadapan dengan mereka. Tetapi, tidak untuk Reya. Rad jadi sering kewalahan dan menghela napas frustrasi bahkan sejak malam pertamanya. Rad juga tidak menyangka, perlahan-lahan, kehadiran Reya mengancam segenap benteng pertahanan diri atas cinta juga menggoyahkan janji pada masa lalu yang ia ikrarkan sendiri.
Jangan jatuh cinta pada saya. Maka, kamu akan baik-baik saja. (Rad)
Mereka tidak menikah karena dipaksa. Ini adalah keputusan bersama. Tetapi, ternyata pernikahan bukan hanya soal menggelar resepsi dan perubahan status suami istri saja. Sanggupkah Rad dan Reya mempertahankan keputusannya?
Rating: 3,5/5
Pro:
Buku ini page turner banget. Saya menyelesaikan buku ini hanya dalam semalam saja karena begitu terpikat dengan kisahnya sampai nggak rela untuk tidur sebelum selesai. Meski kisahnya klasik, yaitu pernikahan kontrak, perjalanan konflik dua tokoh utamanya menarik sekali. Mereka yang awalnya menikah tanpa cinta, perlahan-lahan mencintai pasangannya. Dari yang saling nggak peduli lalu mencoba untuk menjadi teman dan bersahabat sampai akhirnya jatuh cinta.
Karakter Reya yang diceritakan adalah seorang dosen filsafat dan sedang menempuh pendidikan S3 digambarkan sebagai sosok alpha woman yang kuat, cerdas dan witty. Namun, karakter orang Jawa (Tengah)nya yang dididik dalam budaya patriarki di mana istri itu harus manut sama suami, terlihat sekali saat dia menyembunyikan perasaannya dan berusaha memahami apapun perilaku suaminya untuk mempertahankan pernikahannya. Sedangkan karakter Chef Rad, seorang juru masak selebriti yang digambarkan judes dan angkuh di depan kamera, mengingatkan saya dengan Chef Juna. Asli, sepanjang baca buku ini saya nggak bisa nggak membayangkan wajah Chef Juna sebagai Chef Rad.
Cara penulis menyajikan cerita yang sebenarnya klise ini juga bagus, saya beberapa kali nangis saat membaca novel ini. Terutama saat Reya berpura-pura semua baik-baik saja padahal hatinya terluka karena hubungan Rad dan masa lalunya yang tidak bisa berakhir. Dan ketika dia menemukan dirinya hamil padahal sudah memutuskan untuk meninggalkan Ray. Semua adegan yang berkisah tentang Reya – Rad – Kinanti, wanita yang membuat Rad terikat dengan masa lalunya itu bikin emosi saya ikut teraduk-aduk deh. Cukup memalukan juga untuk emak-emak menjelang usia 40 ini sebenarnya hahaha.
Tema-tema sosial yang diangkat di novel ini juga bagus dan nggak dipaksakan. Seperti stereotipe perawan tua, budaya patriarki sampai kehidupan tahanan politik wanita pada masa pemerintahan Orde Baru menjadi bagian yang mendukung cerita, bukan sekadar tempelan.
Kontra:
Reya yang wanita tangguh itu ternyata saat dihadapkan dengan dilema cinta itu bisa jadi nggak rasional. Kemarahannya ketika dikhianati pacar dan sahabatnya bisa dipahami, tapi kepanikannya saat sadar dia menikah dengan orang yang hanya dikenalnya dalam satu bulan itu aneh. Namun ya dari keanehan inilah konflik kedua tokoh utama berawal.
Rad yang digambarkan kaya raya itu juga rasanya terlalu sibuk dengan aneka bisnis dan restorannya. Mungkin di dunia nyata memang seperti itulah kehidupan seorang Chef yang juga pengusaha, seperti Gordon Ramsay yang punya banyak tv show dan restoran. Hanya saja mengikuti kesibukan Rad itu rasanya sampai ngos-ngosan gitu walaupun mungkin ini juga diperlukan sebagai dasar konflik antara Rad dan Reya.
A Very Yuppy Wedding
Penulis: Ika Natassa
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Sinopsis:
Andrea adalah seorang bankir muda yang tengah meniti karir di salah satu bank terbesar di Indonesia menjalin hubungan backstreet dengan rekan kerjanya, Adjie karena peraturan perusahaan yang tidak membolehkan karyawannya berpacaran. Meski demikian Andrea dan Adjie tetap berusaha mempertahankan hubungan mereka dan berencana untuk menikah setelah masa ikatan dinas mereka berakhir dan salah satu dari mereka bisa keluar dari perusahaan tanpa terkena pinalti.
Sayangnya, rencana tersebut tidak berjalan mulus. Hubungan rahasia itu membuat banyak pihak merasa berhak masuk di antara mereka. Termasuk Ajeng, karyawan baru di divisi mereka dan mantan pacar Andrea. Andrea yang merasa insecure terus-menerus cemburu dengan hubungan Adjie dan Ajeng. Dan Adjie mulai terasa mengekang sekaligus tidak perhatian kepada Andrea. Konflik demi konflik meruncing seiring dengan semakin dekatnya tanggal pernikahan mereka. Sampai di malam pernikahan, Andrea merasa bahwa ia tidak ingin lagi menikah dan memutuskan untuk menemui Radit, mantan pacarnya.
Rating: 3/5
Pro:
Buku pertama Ika Natassa ini dipilih karena merupakan salah satu dari 2 buku berbahasa Indonesianya Ika Natassa yang belum saya baca. Dan saya menyukai semua bukunya yang pernah saya baca: Antologi Rasa, Divortiare, Critical Eleven dan The Architecture of Love. Jadi review novel A Very Yuppy Wedding ini mungkin agak bias karena saya adalah penggemar berat Ika Natassa dan saya pernah bekerja di bank.
Aturan nggak boleh pacaran dengan teman sekantor itu familiar sekali bagi pegawai bank. Begitu juga dengan kesibukan Andrea dan Adjie sebagai banker. Cerita yang terjalin juga menarik, konfliknya khas orang pacaran yang mau menikah. Wedding jitter ya istilahnya?
Endingnya yang manis membuat pembaca bisa menarik nafas lega setelah lelah dengan hubungan konflik Andrea – Radit – Adjie – Ajeng. Karakter Firman dan Tania, sahabat-sahabat Andrea dan Adjie juga membuat kisah ini lebih hidup dengan celetukan-celetukan nakal namun sesekali bisa bijaksana. Buku yang hanya setebal 290 halaman ini juga cukup ringan untuk diselesaikan dalam sekali duduk.
Kontra:
Karakter Andrea ini enggak banget untuk ukuran perempuan dewasa yang pintar, lulusan luar negeri dan calon manager. Rasanya dia terlalu demanding, manja dan insecure. Dan sebagai pembaca setia novel Ika Natassa, tokoh banker kaya yang hidup glamor dengan rumah mewah, barang branded dan mobil mahal terasa membosankan dan nggak membumi. Walaupun memang stereotipe karakter novel metropop ya seperti itu: sukses, mandiri, kaya raya dan hidup di kota besar.
Bagi saya, membaca buku pertama Ika Natassa ini membuktikan bahwa penulis itu berkembang bersama dengan karyanya. Seandainya dulu saya membaca buku ini pertama kalinya mungkin nggak akan baca buku-bukunya yang lain, seperti saya berhenti membaca buku-bukunya Sophie Kinsella.
Buku Digital, Ya atau Tidak?
Keempat buku dalam review novel ini bisa dibaca melalui aplikasi Gramedia Digital dengan berlangganan paket fiksi premium sebesar Rp 45,000 per bulan. Dengan paket ini, pembaca bisa membaca semua buku dalam kategori fiksi dewasa sepuasnya. Namun, jika ingin membaca buku-buku di luar kategori tersebut harus membayar lagi.
Sebenarnya, membaca buku lewat gawai memang terasa kurang nyaman, apalagi jika menggunakan hape yang ukurannya hanya setelapak tangan. Karena tulisannya jadi terlalu kecil bagi pengguna kacamata berlensa progresif (minus dan plus) seperti saya.
Sedangkan membaca buku fisik selain lebih nyaman, ada sensasi menenangkan saat mencium aroma kertas dan menyentuh kertas serta mendengar suara kertas. Hanya saja, buku fisik memakan tempat. Tentu saja ini bukan masalah bagi keluarga yang memang memiliki rumah dan ruangan sendiri.
Sedangkan berdasarkan pengalaman pindahan dari Brunei kemarin, banyak sekali buku koleksi yang tidak bisa kami bawa. Baik buku anak-anak maupun buku-buku saya. Akhirnya buku-buku tersebut dijual atau disumbangkan ke perpustakaan setempat dan dibagikan ke teman-teman yang mau menerimanya. Sedih sekali sebenarnya, tapi itu membuat saya sadar kalau untuk keluarga nomaden seperti kami ini, tidak efektif mengoleksi buku fisik.
Akhirnya sekarang saya membatasi diri untuk membeli buku, terutama novel-novel yang biasanya hanya akan saya baca sekali. Untuk buku-buku non fiksi dan buku-buku anak-anak saya masih mau membeli fisiknya. Karena pasti akan dibaca berulang-ulang dan InsyaAllah berguna dalam waktu lama. Sebagai gantinya, membaca ebook menjadi pilihan baru saat ingin menikmati sebuah cerita fiksi. Tentu saja hanya membaca ebook yang legal. Jika memang buku tersebut menarik sekali dan kiranya akan jadi sebuah kisah yang longlasting seperti buku-bukunya Enid Blyton, JK Rowling, Dan Brown, Mira W, Dee Lestari baru deh membeli buku fisiknya.
Kalau teman-teman PojokMungil lebih suka membaca buku fisik atau ebook?
alfakurnia
Lifestyle blogger yang suka berbagi tentang review produk, kisah sehari-hari, pengalaman parenting dan banyak lagi. Juga suka menulis resensi buku dan produk skincare di blog alfakurnia.com
26 thoughts on “Review Novel Metropop Manis Untuk Temani Waktu Luang (Bagian 2)”
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan
Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.
Saya lebih suka baca buku yg ada wujudnya Mba. Bener banget klo baca ebook d hp rasa’y mata cepet capek dan takut2 minus makin nambah 😅 tapi saya kadang baca ebook juga, seru2 aja sih sebener’y baca buku dimana pun asal cerita’y juga seru. Hihi..
Review mbak Alfa atas dua novel itu, bikin ingin baca langsung, Mbak. 🙂
Wah, aku jadi melirik rak buku kami di sini. Banyak juga. Harus sudah mulai ambil ancang-ancang untuk packing nie.
Aku pribadi sebenarnya juga suka buku fisik. Tapi mengingat rumah yang mini dan pasti akan pulang ke tanah air, e-Book menjadi pilihan yang pas untuk saat ini. Kecuali board book untuk bayi. :B
Saya juga mulai beralih ke e-book. Lumayan ga berat bawa-bawa buku. Saat Ada waktu Liang tinggal buka hp, melanjutkan membaca. Selain itu, harga e-book relatif lebih terjangkau. Iya kalau buat anak-anak tetap yang berwujud buku. Kalau dikasih e-book nanti beralih ke YouTube soalnya 😁
Wah reviewnya lengkap ya mba.. ada sinopsis, pro dan kontra 🙂 judul yang kedua udah disebut endingnya ya.. buku digital aku belum ya.. buku fisik yang ada pun belum pada selesai. semoga bisa lebih rajin membaca, makasih sharingnya mba
Saya penganut membaca buku fisik. Sensasinya nggak akan di dapat dari buku digital. Bau kertas, teksturnya, dan kesan keren gitu kalau nenteng buku. Perpustakaan daerah jadi tempat buat minjam karena pernah ngerasain rempongnya pindahan dengan segambreng buku kesayangan.
Saya lebih suka baca bukunya langsung, mbak. Tulisan review novel tentang tokohnya yg shef bikin penasaran, ni kaya cerita pelakor gak sih … cinta segitiga. Maaf saya belum move on dr drakor pelakor yg ngehits kemarin2 itu loh.
Kalo punya banyak waktu dan gak ada yang nganggu saya lebih suka baca buku analag, moment membalik halaman lembar demi lembar dan aroma kertas baru itu gak bisa tergantikan kalo hanya dengan membaca buku digital. Tapi jika di suatu waktu, penasaran dengan isi cerita, dimana kita sedang sibuk tapi pengen nyuri2 waktu untuk sekedar mengalihkan pikiran, buku digital emang bermanfaat banget, sesuai dengan kelebihannya, paktis dan bisa dibawa kemana aja ??
Meskipun masuk kategori tidak ramah lingkungan, entah mengapa aku masih lebih suka baca buku fisik. Ga bakalan kehabisan batere di tengah-tengah proses membaca, terutama bagi slow reader kayak aku ini. Yang selalu begitu terhanyut dengan novel-novel yang kubaca. Plus aroma khas buku, baik itu buku baru maupun buku lama. Bikin jatuh cintaaaa… 🙂
wah bisa jadi salah satu waiting list buku-buku yang akan dibaca nih. kalau saya lebih suka buku fisik hehe, karena enggak bikin gampang lelah buat mata. kalau natap layaar keseringan bikin mata perih malah lebih sering lihat kemana-mana deh. wkwk. nanti bacanya enggak selesai-selesai. makasih mba sharingnya.
Sejak pindah-pindah, aku beralih ke ebook di gramedia digital atau playstore mbaa, jadi kalau pas pindah lagi gak perlu repot angkut wkkk
btw, novel yg udah pernah kubaca yg punya mb ika natassa tuh mb, bagussss, ringan, banyak bahasa Inggrisny
kalau yang satuny lagi kayaknya seru juga ya
Wah, aku udah baca bukunya yang Andrea dan aku harus seteju sama mbak Alfa, tokohnya kurang down to earth. Cuman ya memang namanya juga novel yak mbak, ahahaha. Btw, langganan 45ribu itu hitungannya murah yo.
Kalau mau bicara rasa, aku lebih suka buku fisik. Beda kalau bicara efektivitas, ebook jelas jadi pilihan. Pada dasarnya sih keduanya bisa aku nikmati, kok. Hanya saja, kalau ebook, aku memilih membaca di laptop aja. Mataku kurang bersahabat kalau harus terlalu lama memandang layar ponsel, hihihi …
Eh, aku tuh penyuka karya-karyanya Ika Natassa. Buku-buku dia, entah sudah berapa kali dibaca ulang. Tetep loh, nggak ada bosennya.
Kalau mau bicara rasa, aku lebih suka buku fisik. Beda kalau bicara efektivitas, ebook jelas jadi pilihan. Pada dasarnya sih keduanya bisa aku nikmati, kok. Hanya saja, kalau ebook, aku memilih membaca di laptop aja. Mataku kurang bersahabat kalau harus terlalu lama memandang layar ponsel, hihihi …
Aku sendiri lebih suka baca buku dari fisiknya mbak. Sensasinya tuh beda kalau versi digital. Apalagi saya minus silinder. Lebih capek baca versi digital.
Wah sebenarnya buku digital merupakan opsi membaca jaman sekarang ya, tapi sebaiknya sih membaca di buku fisik agar kurangi ketergantungan pemakaian gadget. Takutnya baca di gadget banyak gangguan aplikasi lain, hehe
Iya, Mbak. Baca buku digital itu kalau saya bukunya harus benar-benar bisa memikat. Jadi bisa cepat selesai bacanya. Kalau enggak pasti mudah terdistraksi sama aplikasi lain.
wah kisah klasik pernikahan kontrak mengingatkanku pad full house sama heloo ormie minster #dramakorea keluar haha. aku suka buku fisik mbak karena anakku jadi suka ngikutin baca buku, kalau hape anakku malah pengen mainhape haha. tapi minusnya ya buku fisik kalau ga dirawat bener bisa kuning2 gitu ya. aku belum pernah beli buku digital..boleh dicoba aah
Wah, Full House itu salah satu dari sedikit drakor yang pernah kutonton.
Spoiler banget reviewnya. Jadi pengen baca juga. Terutama yang pertama. Kalau aku lebih suka baca buku fisik. Tapi, karena ketersediaan terbatas, akhirnya lebih sering baca ebook.
Iya, Mbak. Sekarang coba beralih ke buku digital karena nggak punya tempat yang cukup untuk baca buku fisik.
Pernah belajar baca buku di HP atau laptop aja.. Ujung2nya aku main sosmed mba. Wkwk.. Emang gak bisa konsen aku kalo gak buku fisik. Sparkjoy nya beda aja.. Hihi
Hehehe baca buku digital memang lebih banyak distraksinya ya.
Saya bukan pembaca buku Ika Natassa, tapi suka nonton film2 dari novelnya hehe. Kalau saya so far masih nyaman pakai buku fisik sih.. lebih nyaman di mata dan bau kertasnya itu loo.. tak terganti.
Saya malah baru sekali nonton filmnya dan menurut saya buku-bukunya lebih baguuuuss.
Saya suka buku fisik dong mbak. Baca digital bikin mata kriyep2 dan gak maksimal juga kayaknya. Tapi sekarang udah banyak bergeser ke digital ya. Gak terelakkan.