Tantrum bukanlah hal yang mudah untuk dihadapi, baik oleh anak itu sendiri, orang tuanya maupun saudara-saudaranya. Sesuai namanya, tantrum atau ledakan emosi bisa menguras emosi semua orang yang terlibat, apalagi jika itu terjadi di tempat umum.
Perilaku anak tantrum yang biasanya ditandai dengan sikap keras kepala, menangis, menjerit, berteriak dan resisten terhadap semua upaya orang untuk menenangkannya ini bisa terjadi pada siapa saja. Kalau ada orang tua yang mengaku anaknya nggak pernah tantrum, wah, beliau harus benar-benar bersyukur.
Tapi kali ini saya nggak lagi ngomongin cara menenangkan anak tantrum. Atau ciri-ciri anak tantrum atau bagaimana membesarkan anak yang nggak pernah tantrum. Di postingan ini saya ingin mengajak teman-teman untuk berdiskusi tentang cara bersikap ketika melihat anak orang lain tantrum.
Iya, sebagai ibu yang anaknya sering tantrum di tempat umum, despite all the parenting theories yang sudah saya praktikkan untuk mencegah anak ngamuk karena keinginannya nggak dipenuhi, saya sering sekali menerima berbagai respon dari orang-orang yang melihat drama kami. Mulai dari tatapan menghakimi sampai yang (pura-pura) nggak peduli hehehe.
Baca Juga: Anakku Guruku
Tapi ada satu momen yang paling berkesan bagi saya selama 13 tahun menjadi ibu.
It was 8 years ago, saat itu saya sedang hamil Keenan dan Cinta masih KG 2. Kami baru saja pindah ke Brunei. Pagi itu cuaca agak mendung ketika saya dan Cinta sampai di parkiran sekolah. Suasana hati anak umur 5 tahun itu sudah kurang baik sejak kami berangkat dari rumah. Mungkin karena masih mengantuk.
Kami sudah nyaris terlambat sampai sekolah, tapi Cinta tetap kukuh nggak mau turun dari mobil. Penolakannya untuk masuk kelas hari ini diawali dari ngambek, marah sampai nangis histeris. Entahlah ya, kedua anak saya itu kalau nangis selalu sekuat tenaga dan suaranya memekakkan telinga sampai yang dengar saya lebih sering merasa kesal daripada kasian.
Baca Juga: Ketika Cinta (dan Mama) Belajar Kecewa
Setelah lebih dari 10 menit dia menangis, saya sempat berpikir untuk kembali pulang. Tapi niat itu saya urungkan karena Cinta sudah beberapa hari bolos sekolah, saya lupa karena apa. Lagipula saya nggak yakin bisa menyetir pulang diringi tangisan sekencang itu. Bisa-bisa saya ikut emosi di dalam mobil yang dapat membahayakan kami berdua kan.
Berbagai cara saya lakukan supaya dia berhenti menangis atau setidaknya tangisnya mereda supaya bisa diajak bicara. Tapi gagal. Beberapa orang tua murid yang datang dan pergi setelah mengantar anak-anak mereka hanya menatap saya sambil sesekali bertanya, “What happen?”
Sampai seorang ibu menghampiri kami dengan senyum tersungging di wajahnya? “What happen, Darling?” tanyanya ke Cinta? Cinta yang mungkin kaget disapa orang lain tiba-tiba terpaku, tangisnya mereda.
Karena Cinta nggak menjawab pertanyaannya, si ibu berkata lagi, “Here, aunty have some candies for you. You can have one before you go to your class to make you feel better,” lanjutnya sambil mengambil telapak tangan Cinta dan meletakkan beberapa buah permen.
Setelah itu saya lupa dia bilang apa lagi, tapi apapun interaksi si ibu dan Cinta bisa membuat tantrum anak saya mereda. Setelah melihat Cinta membaik, ibu itu baru menatap saya dan tersenyum. Seolah-olah bilang, “Hey, I know how you feel. I’ve been there. You’re doing great.” Lalu pergi setelah menepuk lembut lengan saya.
Kejadian ini sudah 8 tahun berlalu. Tapi sampai saat ini saya masih ingat betapa leganya saya, betapa bersyukurnya saya hari itu ada seseorang yang datang membantu saya mengatasi anak tantrum tanpa saya merasa dipermalukan.
Ketika anak tantrum di depan umum. Berbagai emosi kita rasakan. Ya malu, panik, bingung sampai kesal bercampur jadi satu. Dan hal yang paling nggak membantu orang tua ketika anaknya tantrum adalah tatapan kesal atau menghakimi dari orang lain.
Baca Juga: Makna Sebuah Pelukan
Jadi ketika melihat seorang ibu atau ayah yang sedang berjuang menenangkan anak tantrum, kita bisa melakukan beberapa hal ini:
Abaikan
Ini adalah hal termudah yang bisa kita lakukan. Jadi begitu kita mendengar seorang anak mulai nangis teriak-teriak, abaikan aja. Hindari tempat di mana mereka berada. Nggak usah bikin eye contact. Pura-pura aja nggak melihat atau mendengar kejadian itu.
Beri Dukungan kepada Orang Tua
Tatap mata ibunya, lalu beri senyum penuh empati. Kalau kira-kira si ibu atau ayah nampak putus asa, tanya aja, “Ada yang bisa saya bantu?”
Dari banyak cerita yang pernah saya baca dan dengar selain yang saya alami sendiri, banyak sekali orang tua yang merasa lega ketika ada orang lain membantu tanpa menghakimi. Karena nggak semua orang tua punya kesabaran cukup panjang untuk menghadapi anak tantrum.
Tapi juga nggak perlu tersinggung kalau mereka menolak bantuan kita. Yang penting kan niatnya ya.
Baca Juga: You’re A Good Mum
Alihkan Perhatian Anak
Jika kita berada cukup dekat dengan si anak, nggak ada salahnya kalau kita tersenyum dan melambaikan tangan ke arahnya. Dengan begini, perhatian anak akan berpindah sesaat dari hal yang dia inginkan ke kita.
Mengajaknya bicara dengan lembut dan ceria juga bisa membuat perhatian anak teralihkan. Kalau orang tuanya nampak mengizinkan, boleh kita kasih sesuatu seperti permen yang aman untuk anak-anak. Atau ajak mereka bermain bareng anak-anak kita.
Cara ini beberapa kali kami lakukan saat di tempat umum seperti sekolah atau tempat makan, ketika kami berada dekat dengan anak orang yang sedang tantrum. Baik dengan mengajak dia ngobrol atau menunjukkan hal-hal yang menarik seperti meminjamkan mereka mainan anak-anak yang selalu ada dalam tas saya atau memberi mereka kertas dan pensil untuk dicoret-coret.
Berdasarkan pengalaman, ini termasuk efektif karena anak kecil sangat mudah melupakan sesuatu dan tertarik pada hal baru. Tapi ya nggak semua orang tua membiarkan anaknya berkomunikasi dengan orang asing. Jadi harus lihat situasi juga ya.
Melihat anak orang lain tantrum memang bukan hal yang mudah.
Nggak jarang kondisi itu membuat kita terganggu dan menganggap si orang tua tidak cukup baik mengasuh anak atau si anak terlalu manja sampai bisa ngamuk di tempat umum. Padahal kondisi ini normal dialami oleh anak usia 12 bulan sampai 4 tahun.
Menurut psikolog Ratih Ibrahim yang dikutip oleh tirto.id, di usia tersebut anak sedang beradaptasi dengan banyak figur. Saat itulah kecerdasan sosialnya muncul dan terdapat keinginan untuk mengaktualisasi diri.
Di saat yang bersamaan, daya interaksi dan komunikasi anak masih berkembang. Kosakata yang dimiliki juga masih terbatas, sehingga anak kesulitan berekspresi. Hal-hal ini dapat membuat anak frustasi yang dimanifestasikan dalam bentuk tantrum.
Jadi, ketika melihat anak orang lain tantrum, cobalah untuk nggak memberikan komentar atau tatapan yang menghakimi. Jalan termudah adalah hindari dan abaikan. Percayalah, itu sudah cukup membantu si anak dan orang tua yang sedang berjuang mengatasi emosi mereka masing-masing.
Baca Juga: Diam atau Lerai?
Kalau teman-teman sendiri, apa reaksi pertama kalian saat melihat anak orang lain tantrum? Atau mungkin pernah punya pengalaman berinteraksi dengan orang lain saat anak teman-teman tantrum di depan umum? Yuk cerita di kolom komentar.
alfakurnia
Lifestyle blogger yang suka berbagi tentang review produk, kisah sehari-hari, pengalaman parenting dan banyak lagi. Juga suka menulis resensi buku dan produk skincare di blog alfakurnia.com