Sekitar 5 tahun yang lalu, saya sempat terkejut mendengar cerita anak-anak kelas 6 SD swasta ternama di Surabaya sudah diharuskan membawa laptop sendiri untuk pelajaran komputer. Padahal waktu itu harga laptop termurah masih hampir 3x lipat gaji saya sebagai pegawai di sebuah bank swasta.
Masih belum habis rasa penasaran mengapa sekolah itu meminta muridnya membawa laptop padahal mereka punya laboratorium komputer, saya kembali terkagum-kagum melihat anak-anak SD sudah membawa telepon genggam dengan fasilitas lengkap ke sekolah. Makin geleng-geleng kepala ketika mengetahui bahwa tidak sedikit anak usia 10-12 tahun itu sudah dibekali Blackberry dan anak SMP diberi iPad yang saya mimpi punya aja nggak berani oleh orangtuanya.
Ya, saat ini kita memang hidup di era digital, di mana banyak sekali gadget atau perangkat teknologi yang bisa mempermudah kegiatan kita sehari-hari dan akses menuju sumber informasi. Apalagi sekarang perangkat tersebut bisa didapatkan dengan harga yang tidak terlalu mahal. Sebut saja, telepon genggam, play station, laptop, televisi, vcd yang hampir ada di setiap rumah kelas menengah. Bahkan mungkin tidak sedikit yang masing-masing penghuni rumah memiliki ke-5 perangkat tersebut di kamarnya.
Sayangnya, penggunaan media hiburan dan informasi ini seringkali tidak dibarengi dengan kecerdasan dan pengawasan dari orang dewasa. Hal inilah yang membuat saya mengikuti seminar “Menyiapkan Anak Tangguh di Era Digital” hari Sabtu, 30 Oktober 2010 yang lalu di Kemang Village.
Seperti yang saya utarakan di atas, anak SD sudah dikasih blackberry, telepon genggam canggih, laptop dengan akses internet tak terbatas merupakan hal yang umum kita jumpai saat ini. Padahal, Ibu Elly Risman mengingatkan bahwa banyak orang tua yang tidak awas akan banyaknya ancaman pornografi yang bisa diakses anak dari perangkat-perangkat tersebut.
Bahkan games seperti The Sims atau film kartun macam Naruto pun mengandung konten pornografi dan kekerasan yang tidak pantas dimainkan atau ditonton oleh anak tapi tetap kita biarkan mereka menonton dan memainkannya. Padahal menurut data yang dihimpun oleh Kelompok Peduli Anak dan Buah Hati, pornografi bisa merusak 5 bagian otak anak, dan selama ini kita mengira bahwa narkoba lah ancaman terbesar bagi generasi muda.
Nggak ada salahnya kok memberikan perangkat canggih kepada anak selama kita yakin bahwa bagian prefrontal cortex yang berfungsi sebagai direkturnya otak sudah benar-benar matang. Karena di bagian otak inilah tempat dibuatnya moral dan nilai-nilai.
Masih menurut ibu Elly, untuk mematangkan direktur ini, kita sebagai orang tua harus mengasuh anak dengan benar, yaitu dengan komunikasi yang baik, hangat dan mengutamakan perasaan. Selama ini mungkin banyak orang tua yang cuma peduli apakah anak sudah mengerjakan PR atau belum, ranking berapa di sekolah, kalo belum bikin PR atau ulangan dapat 80 dan bukannya 100 langsung dimarahin. Padahal anak butuh validasi atau penerimaan, penghargaan dan pujian atas usaha yang telah ia lakukan. Mereka perlu kita memahami perasaannya.
Dan yang terpenting adalah menghadirkan Tuhan dalam diri anak. Sebagai orang tua, kita harus menanamkan pada diri sendiri bahwa anak adalah amanah dan ajaran agama juga moral harus kita lakukan sendiri, bukannya menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah berbasis agama, guru agama, tempat pendidikan agama dan sebagainya.
Pola pengasuhan Dual Parenting pun sangat diperlukan bagi perkembangan pribadi anak yang matang. Peran Ayah sama pentingnya dengan peran ibu sehingga ayah juga harus hadir secara emosional dan spiritual.
Dalam seminarnya, ibu Elly Risman memberi contoh anak laki-laki yang tidak memiliki komunikasi yang baik dengan ayahnya akan cenderung agresif, sedangkan anak perempuan yang tidak mendapatkan penerimaan dari ayah akan mencari kasih sayang dari laki-laki lain di sekitarnya dengan membabi buta.
Latih anak untuk mampu berpikir kritis dan memiliki konsep diri yang kuat dengan selalu menanyakan pendapat anak tentang sesuatu yang berkaitan dengan dirinya. Penerimaan, cinta kasih sayang dan penghargaan adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh anak. Dan jadilah teladan yang baik karena anak belajar dari contoh bukan ucapan.
Pemberian fasilitas kepada anak pun harus jelas tujuannya, jangan cuma karena “semua temennya juga pake” atau “biar gampang hubungin anak”. Capai kesepakatan dengan anak mengenai aturan penggunaannya, dan jelaskan dampak positif dan negatif gadget tersebut. Biarkan anak berpikir, memilih dan mengambil keputusan mengenai perangkat tersebut.
Nggak mudah jadi orang tua di era digital ini, banyak sekali ancaman dan tantangannya. Nggak sekedar sekolah mahal tapi juga pergaulan yang semakin menggila. Anak sekarang jauh lebih pintar dari orang tuanya tapi kita sebagai orang tua juga harus lebih kreatif dalam memahami anak. Selamat menjadi orang tua 2.0 yang cerdas dan tanggap 🙂
alfakurnia
Lifestyle blogger yang suka berbagi tentang review produk, kisah sehari-hari, pengalaman parenting dan banyak lagi. Juga suka menulis resensi buku dan produk skincare di blog alfakurnia.com