Sharenting adalah perilaku orang tua yang biasa dijumpai di era digital. Istilah ini diambil dari kata share yang artinya berbagi dan parenting yang berarti pengasuhan anak.
Secara umum, sharenting adalah membagikan momen kehidupan anak dalam bentuk video atau foto ke media sosial. Berdasarkan hasil survei yang dikutip oleh situs klikdokter.com, 85% ibu dan 70% ayah yang aktif di media sosial mengunggah konten terkait kehidupan dan perkembangan anak mereka. Apakah teman-teman Pojokmungil termasuk salah satunya?
Kalau saya tentu saja iya. Meski perilaku ini banyak dilakukan oleh orang tua generasi milenial, saya yang termasuk dalam generasi xennial pun melakukannya.
Hal ini sebenarnya bisa dimaklumi. Orang tua yang baru memiliki anak biasanya punya keinginan untuk mengabadikan setiap momen penting si anak. Coba lihat galeri foto di ponsel pintar teman-teman terutama yang punya anak balita, pasti banyak deh foto-foto si kecil dalam berbagai momen dan pose.
Mungkin teman-teman masih menyimpan foto saat si kecil baru lahir, ketika mulai tengkurap, saat mulai tumbuh gigi atau ketika merangkak. Saya pernah punya semua itu di galeri ponsel saya. Yang terpaksa harus dipindahkan ke eksternal harddisk karena memori ponsel penuh lalu eksternal hard disk itu hilang dicuri orang. Hiks.
Mengapa Melakukan Sharenting?
Ketika pertama kali memiliki akun Facebook, salah satu foto pertama yang saya unggah adalah foto saya bersama si sulung yang masih batita. Dan Facebook menjadi media pertama saya melakukan sharenting.
Untuk apa? Awalnya untuk berbagi dengan keluarga. Waktu si sulung baru lahir, saya dan suami menjalani long distance marriage. Pada tahun 2007 cuma Skype yang memungkinkan saya, anak dan suami untuk bertatap muka via koneksi internet.
Ratusan foto si sulung saya bagikan di sana begitu juga dengan kisah seputar momen tertentu serta ocehan-ocehannya yang menurut saya lucu atau mengesankan. Bagi sebagian orang itu lebay, orang tua overproud, ‘gitu aja kok dishare, anak aku tu bisa blababla’.
Namun bagi saya itu adalah cara supaya suami tetap bisa mengikuti perkembangan anaknya dari jauh.
Berbagi aktivitas anak di media sosial tetap saya lakukan ketika keluarga kecil kami sudah berkumpul. Tujuannya masih sama, untuk berbagi bersama keluarga karena kami merantau ke Brunei dan tinggal jauh dari keluarga di Indonesia.
Saat memulai blog pojokmungil.com ini pun tulisan yang saya unggah sebagian besar pengalaman saya mengasuh si sulung. Dia benar-benar menjadi obyek inspirasi konten saya. Begitu juga si bungsu. Mereka juga sering ikut jadi model ketika saya mendapat pekerjaan mengulas produk atau jasa yang berhubungan dengan anak.
Saya kira itu wajar, sampai suatu ketika saya mengikuti seminar parenting tentang keamanan anak di dunia digital dan memperoleh pencerahan bahwa sharenting tidak sepenuhnya baik. Ada dampak yang mungkin tidak kita sadari.
Dampak Negatif Sharenting
Jadi Ajang Kompetisi
Sebagai orang tua tentu wajar ya kalau kita merasa bangga ketika anak berhasil mencapai milestone tertentu dalam pertumbuhannya. Misalnya nih udah bisa jalan di usia 12 bulan atau udah lancar ngomong sebelum umur 2 tahun.
Wajar juga kalau kita mengabadikan momen itu di media sosial kita sebagai wujud kebanggaan supaya kelak bisa diceritakan lagi ke anak.
Namun, orang tua lain yang melakukan sharenting juga mungkin memiliki pikiran yang sama. Dan ketika mereka mengunggah milestone si anak ke media sosial dan kita membaca atau melihatnya, bisa jadi ada perasaan kompetitif.
Mungkin kita yang merasa anak kita lebih baik nih karena anak si fulan bisa lancar membaca di usia 7 tahun sementara anak kita udah menyelesaikan buku ketujuh Harry Potter di umur 5 tahun. Atau sebaliknya, melihat prestasi anak si fulan yang lebih baik, kita jadi kurang menghargai proses yang dijalani anak kita.
Ini yang bisa membuat kita merasa cemas dan otomatis anak menjadi tumbuh dengan tidak sehat karena dituntut untuk selalu lebih baik dari orang lain. Menurut situs klikdokter.com, kondisi ini juga dapat memberi tekanan kepada orang tua untuk mempertahankan gambaran kehidupan keluarga yang sempurna.
Membahayakan Privasi Anak
Anak adalah manusia tidak berdaya yang harus kita lindungi termasuk privasinya. Dengan sharenting, kita sudah membentuk identitas anak di dunia maya tanpa persetujuan anak.
Semakin banyak yang kita bagikan, semakin banyak pula penghuni dunia maya yang mengetahui detil kehidupan anak kita. Kalau yang baik-baik sih mungkin tidak apa-apa, ya. Tapi bagaimana dengan hal-hal yang kurang baik.
Bagi kita mungkin itu hal yang lucu atau menggemaskan tapi kelak anak bisa saja menganggapnya memalukan. Bahkan kemungkinan terburuk bisa dijadikan bahan orang lain untuk merundung anak kita.
Selain itu membagikan hal-hal yang pribadi seperti alamat rumah, nama sekolah, jadwal aktivitas harian anak juga dapat membahayakan anak secara fisik dan psikis.
Foto-foto anak yang kita unggah di media sosial juga dapat disalahgunakan oleh orang yang berniat jahat. Beberapa tahun lalu sempat ramai foto-foto bayi dan balita diunggah di sebuah akun role play di Instagram.
Pemilik akun mengambil secara random foto-foto bayi di internet dan mengunggah dan takarir yang mengundang pengguna Instagram berkomentar yang menjurus ke arah seksual. Ada juga yang mengunggah foto-foto si kecil ke situs-situs pornografi yang diminati oleh para pedofil. Iya, semengerikan itu lho dunia maya. Jadi please lebih berhati-hati, ya.
Dapat Mengarah ke Eksploitasi Anak
Ini nih yang harus kita perhatikan. Batas antara membagikan momen dan eksploitasi anak itu cukup tipis. Apalagi kalau kita adalah content creator yang menjadikan anak sebagai pemeran di konten kita.
Tidak ada salahnya mengajak anak untuk berpartisipasi dalam pekerjaan orang tua sebagai content creator, apalagi kalau dapat penghasilan yang bisa digunakan untuk kepentingan anak juga.
Namun kita juga harus paham kalau sudah disebut eksploitasi anak ketika konten kita melulu hanya tentang anak dan si anak sebenarnya sudah merasa tidak nyaman. Apalagi ketika kita sudah memaksa anak untuk membuat konten sampai menghilangkan hak-hak mereka seperti pendidikan, waktu bermain, waktu beristirahat, keselamatan dan kesusilaan.
Menurut Alexa Adeline, Clinical Psychologist C. Ego State & Hypnotherapist yang saya kutip dari Parentalk.id, ada dua tanda kalau si kecil mulai mendapatkan eksploitasi di media sosial, yaitu:
- Anak mulai kehilangan kesempatan untuk beristirahat dan pendidikan yang layak. Ini karena terlalu banyak pekerjaan, seakan orang tua atau anak lebih mengutamakan media sosial dibanding apapun.
- Anak terlihat mulai cemas tentang bagaimana mereka mendapat respon dari masyarakat tentang konten yang mereka tampilkan.
Padahal anak tidak memiliki tanggung jawab untuk bekerja. Kalaupun mereka ingin menjadi YouTuber anak atau influencer anak karena memang mereka punya bakat dan minat di bidang tersebut tidak apa. Asal dilakukan di luar waktu pendidikan, tidak menganggu waktu istirahat dan bermain serta tidak berlebihan.
Dari Parentalk.id juga saya tahu bahwa ada lho peraturan yang melindungi anak-anak yang melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan mereka. Jam kerja, waktu kerja, jenis pekerjaan semua lengkap tertera dalam Keputusan Menaker Nomor KEP.115/MEN/VII/2004 tentang Perlindungan bagi Anak yang melakukan Pekerjaan untuk Mengembangkan Bakat dan Minat.
Bolehkah Sharenting?
Kalau baca artikel-artikel dari luar negeri, definisi sharenting ini sebenarnya kurang baik. Karena bisa dianggap oversharing juga. Namun, beberapa artikel dari dalam negeri masih menganggap sharenting ini boleh dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal berikut:
Utamakan Kenyamanan dan Keselamatan Anak
Saat menjadikan anak sebagai konten, utamakan kenyamanan dan keselamatan mereka. Mungkin teman-teman juga tahu ya soal salah seorang YouTuber yang kena protes netizen karena membuat konten yang membahayakan anak.
Sepasang YouTuber dari Maryland bahkan kehilangan hak asuh anak mereka karena konten-kontennya yang mengarah ke child abuse. Di mana mereka melakukan prank kepada anak-anak lalu memarahi mereka sampai anak-anak menangis dan berteriak marah.
Di Mesir, pasangan YouTuber Ahmad Hassan dan Zeinab ditangkap atas tuduhan eksploitasi anak atas videonya yang menggunakan anak mereka yang baru berusia satu tahun sebagai bahan lelucon atau prank.
Bagaimana di Indonesia sendiri? Yah, ada sih beberapa YouTuber yang suka bikin konten ngeprank anak. Tapi sejauh ini netizen masih menganggapnya lucu meski anaknya sendiri sudah merasa tidak nyaman untuk ‘ikut syuting’.
Sebagai orang tua sebaiknya kita lebih bijak dalam membuat konten. Jangan sampai hanya demi subscribe dan like anak jadi mendapatkan masalah dengan kesehatan mentalnya dan kita berurusan dengan hukum.
Pastikan juga konten yang kita unggah sudah sesuai dengan kebijakan YouTube atau platform media sosial lain.
Hargai Privasi Anak
Jangan unggah hal-hal yang bersifat pribadi termasuk yang memperlihatkan bagian tubuh anak yang seharusnya tidak terlihat. Dunia maya itu tidak semurni yang kita pikirkan. Jejak digital juga tidak dapat dihapus dengan mudah sementara masa depan anak masih panjang.
Sebisa mungkin jangan beri kesempatan orang lain melihat kelemahan anak yang bisa dijadikan bahan perundungan atau sumber kejahatan. Teman-teman bisa baca postingan saya tentang Foto Anak yang Sebaiknya Tidak Diposting di Media Sosial untuk lengkapnya, ya.
Minta Persetujuan Anak
Kalau anak sudah bisa diajak diskusi, minta persetujuan mereka dulu sebelum mengunggah foto atau video yang ada merekanya. Teman-teman content creator yang suka terima endorsement juga sebaiknya tanya kesediaan anak berpartisipasi dalam pekerjaan tersebut atau tidak.
Dalam podcast Close The Door dua tahun lalu, Raffi Ahmad bercerita tentang permintaan Rafathar supaya kalau ketemu tuh nggak usah bawa kamera. Rafathar juga pernah menyampaikan keengganannya syuting karena merasa selalu disuruh-suruh. Ketika Raffi berhasil membujuk Rafathar untuk syuting karena sudah ditunggu oleh klien, anak kecil itu berkata, “Sudah, Pa. Rafathar sudah bantu papa. Puas?”
Sejak itu Raffi membebaskan Rafathar untuk nggak selalu tampil dalam konten mereka. Bahkan ketika menerima permintaan iklan pun keberadaan Rafathar dianggap sebagai bonus.
Begitulah, ada kalanya anak enggan bekerja. Jadi jangan juga kita memaksakan mereka hanya karena kita sudah menyanggupi menerima pekerjaan tersebut. Kalaupun mereka bersedia dengan senang hati ucapkan terima kasih dan beri apresiasi atas bantuan mereka.
Kesimpulannya, sharenting boleh dilakukan selama masih mengutamakan kepentingan, keselamatan dan kenyamanan anak. Menjadikan anak sebagai YouTuber, influencer, selebgram atau semacamnya pun diperbolehkan selama anak tidak kehilangan haknya untuk mendapat pendidikan, istirahat, bermain, serta tidak membahayakan mereka secara fisik maupun psikis.
Sumber:
– https://www.republika.co.id/berita/qh21d6414/eksploitasi-anak-demi-konten-media-sosial-awas-dipenjara
– https://parentalk.id/influencer-anak-di-media-sosial/
– https://www.klikdokter.com/ibu-anak/tips-parenting/kenali-baik-buruk-sharenting-fenomena-baru-dunia-parenting
alfakurnia
Lifestyle blogger yang suka berbagi tentang review produk, kisah sehari-hari, pengalaman parenting dan banyak lagi. Juga suka menulis resensi buku dan produk skincare di blog alfakurnia.com
18 thoughts on “Sharenting: Mengabadikan Momen atau Eksploitasi Anak?”
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan
Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.
Iyaaakkk serba salah ya mba Alfaaa
Klo sharenting berlebihan ga baik juga.
Anakku ini dah remaja kyknya dah mulai kenal.’consent’ qkqkqkqk
Jadi klo aku mau share poto atau crita ttg doi, kudu minta ijin duluuuuu
aku pun sudah harus minta izin anak-anak kalau mau posting foto atau cerita tentang mereka. Kalau yang kecil masih mau ikut proyek paid review tapi yang besar udah nggak mau kecuali dikasih honor hahaha
Setuju banget sama tulisan Mba Alfa. Selama media sosial eksis di muka bumi, aku rasa sharenting juga tetap eksis. Apalagi usiaku ini usia-usia baru menikah dan punya anak, hampir 80% teman-teman IG yang baru punya anak isi IGnya wajah anak mereka teruusss. Lama-lama jadi risih, akhirnya aku memilih untuk mute akun mereka hihihi. Duh, semoga ke depan para ortu sharenting semakin berkurang deh ya, postingnya yang bermanfaat aja, kegiatan bermain anak yang bisa dicontoh ortu lain tanpa harus memaparkan wajah mereka misalnya.
Lucunya, kak Alfa..
Anakku sekarang bisa pamer ke temen-temennya karena Mamahnya blogger dan beberapa kali mengunggah video mereka ke youtube.
Tapi sejak mereka semakin besar, rasanya aku sudah sangat jarang sekali mengambil job yang melibatkan mereka.
Mungkin terseleksi dengan sendirinya ya..
Alhamdulillah,
Semoga Allah jaga selalu dari niat-niat buruk orang lain dan dari diri sendiri ebagai orangtua yang mengeksploitasi secara berlebihan.
Iya sih namanya emak-emak pastinya seneng banget foto atau rekam video aktivitas anak-anak terutama yang masih balita…lucu. Tapi kalau aku sih ngak semuanya diupload di medsos, biasanya buat konsumsi pribadi aja kalaupun yang diupload di medsos sekarang ini cuma sebatas konten bareng anak atau foto-fotonya yang sudah lewat seleksi anak itu sendiri…hahaha. Kalau diupload tanpa persetujuan dia langsung protes. Kalau anakku yang cowok karena udah kuliah dan SMK ogah masuk ke medsos emaknya. Tapi aku setuju sih keamanan informasi pribadi anak adalah yang terpenting.
Sepakat Mbak. Aku juga jarang share foto anak ke medsos. Sesekali saja jika dirasa dibutuhkan dan ada manfaatnya buat orang lain. Takut juga doa-doa jelek dari yang lihat. Apa sih yang dibilang orang ain. Naudzubilah. Jangan sampai.
Baca judulnya aja udah bagus banget, emang jaman sekarang harus serba pinter ya mamak2 harus bisa menempatkan posisi anak juga ditakutkan nanti mengarah ke eksploitasi anak sendiri
Menjadi refleksi banget nih tulisannya. Aku sih pribadi rada jarang sharenting, tapi ya suka aja kadang-kadang apalagi lucu. Namun ya itu, memang kalau mau sharenting harus mikir, kalau aku digituin sama ortu untuk topik yang itu, aku malu ga
Ya benar banget setuju dengan hal ini. Bagaimana anak kita harus tahu apa yang kita lakukan tentangnya
Saya baru tahu istilah sharenting ini, jadi mikir berkali-kali kalau mau posting foto anak. Biasanya foto anak yang sama orang tua. Mikir udah ke arah eksploitasi nggak, semoga enggak
Segala sesuatu yang berlebihan emang nggak baik ya Mba, over sharing tentang anak pun begitu. Meski mungkin tujuan awalnya buat mengabadikan kenangan. Yang harus dihindari kasih informasi Kaya alamat sekolah atau alamat rumah sih takutnya malah mengundang kejahatan. Sesekali saya posting ama anak. Cuman jangan tiap hari posting juga sih kalau menurut saya. Kalau ada yang nggak mau posting sedikit pun itu hak ortunya
Kadang orang tua tidak sadar bahwa anak miliknya jadi bebas melakukan terhadap anaknya. Padahal anak juga memiliki privasi dan itu harus dihormati orang tuanya
Baru paham istilah Sharenting ini, sih. Sepertinya ini tergantung kebijakan keluarga aja. Soalnya kadang ada beberapa orang yang menjadikan media sosial untuk rekam jejak tumbuh kembang anak, tapi akun dikunci hanya ortu saja yang bisa melihat. Aku juga pernah Sharenting berarti wkwkwk, cuma sesekali sih karena takut penyakit ‘ain juga
Inilah salah satu hal yang sering buat saya ragu-ragu mau upload apa pun ke medsos hehehe. Pertimbangannya banyak sekali. Terlebih lagi dunia digital ini memang bak pisau bermata dua. Hal-hal yang menyangkut privasi rasanya mudah sekali digali hanya bermodalkan laptop atau gadget. Semoga kita dan semua orangtua di luar sana bisa lebih bijak ya memilah hal-hal seperti ini.
Setuju, Mbak Alfa, poin2 yang harus diperhatikan saat berbagi foto anak tadi harus dijadikan perhatian orangtua. Tetap usahakan tidak berlebihan mengeksploitasi anak ketika posting secara daring. Ada hak anak yang harus tetap kita jaga.
memang sih menjadikan anak sebagai konten itu bisa menjadi pisau bermata dua. di satu sisi kita mungkin ingin berbagi namun bisa jadi ternyata anak tidak berkenan dengan hal tersebut atau malah jatuhnya jadi eksploitasi anak.
Saya setuju kalau Sharenting membahayakan privasi anak. karena anak sendiri masih tergantung dengan ortunya dalam mengambil keputusan. Jadi sebenarnya emang harus dikendalikan sharenting ttg anak
Maa syaa Allah, daging banget nih isi artikelnya. Dan ini istilah yang baru saya dengar. Kadang sebenarnya media sosial itu jadi pengganti diari untuk menuliskan perjalanan hidup anak yang suatu saat bisa kita perlihatkan pada mereka saat dewasa. Tapi ya itu, kadang like & komen juga share akhirnya menggoda untuk kompetitif, saya kira ini akan cukup mengganggu emosi orang tua juga yaa. Makanya pernah ada yang kasih saran, jika hendak menjadikan pengganti diari untuk menuliskan perjalanan anak, baiknya dalam email aja. Privasi sangat terjaga. Tentu dengan password yang sangat strong.
Satu lagi sih, kalau dalam Islam, ada yang disebut penyakit ‘ain. Penyakit ini dikenal juga sih di dunia luar dengan sebutan Devil eyes. Penyakit yang ditimbulkan karena tatapan mata yang terlalu suka atau terlalu benci. Jadi emang kudu hati-hati banget dalam sharenting ini.