Komunikasi dalam Mengasuh Anak Menurut Ibu Elly Risman.
Kesalahan yang Sering Terjadi dalam Komunikasi dengan Anak
Mama: “Dedek, jangan loncat-loncat di tempat tidur nanti jatuh.”
Dedek: *tetep loncat-loncat di tempat tidur*
Mama: *suara naik 3 oktaf* “Dedek, mama bilang jangan loncat-loncat di tempat tidur! Nanti kamu jatuh!”
Dedek: *cengar cengir* *tetep loncat-loncat di tempat tidur*
Mama: *suara naik 10 oktaf* “Dedeeeeeeek! Dikasih tau kok nggak mau denger sih! Awas ya nanti kalo jatuh mama nggak mau nolongin! Anak kok bandel amat!”
Dedek: *brruuukkk… jatuh* *nangis* “Huaaaaa sakit ma… Sakit”
Mama: “Nah, kan mama bilang apa. Sudah dikasih tahu nggak boleh loncat-loncat. Salahnya sendiri nggak mau dengerin. Jatuh kan sekarang. Kualat kamu sama mama!”
Dedek: *nangis makin kenceng* “Sakit maaaaa…”
Mama: “Aaah, cuma gini aja kok. Nggak sakit ini. Sini mama kasih obat luka.”
Dedek: “Nggak mau obat luka, Ma. Pediiiiih. Sakit. Nggak mauuuu.”
Mama: “Eh, sini mama kasih. Ntar tambah parah lho lukanya. Mau kamu? Sakit sedikit. Besok juga sembuh! Makanya kalau dikasih tahu orang tua itu didengerin. Kapok kan kamu sekarang!”
Ternyata keesokan harinya luka si Dedek belum sembuh, dia bingung karena kata mamanya besok lukanya sudah sembuh tapi kok belum. Trus katanya nggak sakit. Lalu yang sakit itu yang seperti apa. Udahlah dimarahin, diancam, dicap bandel, didoain jelek, dibohongin lagi.
Hmmm… Familiar nggak sih sama gaya komunikasi dengan anak seperti itu? Honestly, saya juga pernah ngomong gitu ke Cinta tapi nggak pake acara kualat, sukurin lho yang ada di 2 kalimat pertama lah.
Tahu kah, Teman-teman PojokMungil kalau dalam kalimat-kalimat yang diucapkan si Mama ke Dedek itu mengandung banyak sekali kesalahan komunikasi dengan anak yang bisa mempengaruhi konsep diri si Dedek kelak? Serius?
Iya, begitulah kata Bu Elly Risman dalam Seminar Pengasuhan Anak yang bertema “Komunikasi Pengasuhan Anak” yang diselenggarakan oleh komunitas Supermoms Indonesia, hari Sabtu, 26 Februari 2011 yang lalu.
Selama mengasuh anak, seringkali kita melakukan kekeliruan dalam komunikasi dengan anak. Saya yakin kebanyakan sih nggak sengaja. Ya karena kebiasaan sehari-hari begitu. Karena cara orangtua kita dulu berkomunikasi dengan kita ya seperti itu.
Efek Kesalahan dalam Komunikasi dengan Anak
Padahal kesalahan dalam komunikasi dengan anak bisa berakibat fatal terhadap perkembangan kepribadian anak, lho. Antara lain bisa:
1. Melemahkan konsep diri
2. Membuat anak diam, melawan, menentang, tidak peduli dan sulit diajak kerjasama.
3. Menjatuhkan harga dan kepercayaan diri anak.
4. Kemampuan berpikir menjadi rendah.
5. Tidak terbiasa memilih dan mengambil keputusan bagi diri sendiri.
6. Terus menerus merasa isi.
Kesalahan Apa Saja yang Sering Kita Lakukan?
Kalau kita kembali ke percakapan di atas udah ada berapa banyak kesalahan komunikasi yang dibuat si Mama ya? Ada ancaman, memberi cap/label, meniadakan perasaan anak, berbohong, dll. Padahal itu baru 1 kejadian lho.
Suka Mengomel
Bayangkan berapa banyak hal yang kita alami selama 1 hari. Anak telat bangun tidur padahal harus sekolah, kita omelin. Anak pulang sekolah dengan muka kusut karena dibully temannya, capek, banyak PR bukannya disambut dengan senyuman, disuruh makan dulu, ditanya baik-baik eeeeh diomelin cuma karena nggak lepas sepatu dan ngotorin lantai rumah yang sudah kita pel sampe mengkilat.
Tidak Mengapresiasi Hasil yang Diperoleh Anak
Ulangan anak dapat nilai 80 kita marahin karena kita pengennya dia dapet 100, lha padahal dari 20 soal itu dia betul 16 lho, cuma salah 4. Kenapa nggak kita apresiasi dulu keberhasilannya menjawab 16 soal yang mungkin kita juga belum tentu bisa jawab itu. Baru pelan-pelan ditanya 4 soal yang salah. Bila hati senang, otak menyerap lebih banyak lho. Anak yang bahagia biasanya lebih baik prestasinya, lebih bagus konsep dirinya, lebih mudah beradaptasi dengan lingkungannya.
BLAST (Bored, Lazy, Angry/Affraid, Stress, Tired)
Bukan mau nakutin nih, tapi kata Ibu Elly Risman, anak jaman sekarang itu udah kebanyakan beban yang bisa bikin mereka bored, lazy, angry/affraid, stress, tired (BLAST).
Keharusan mempelajari 16 mata pelajaran di sekolah yang mungkin belum tentu ia butuhkan untuk kelak bertahan hidup, hanya dinilai berdasarkan nilai yang berupa angka adalah sedikit dari penyebab BLAST itu.
Belum lagi ketidakpedulian orang tua akan perasaan dan kebutuhan anak, yang penting nilai harus bagus, peer pressure dan masih banyak lagi bisa menimbulkan banyak masalah yang tidak terpecahkan, antara lain: pacaran di usia dini, seks bebas, aborsi, putus sekolah, nikah muda, bercerai, narkoba, HIV/AIDS.
Baca Juga: Menyiapkan Anak Tangguh di Era Digital
Cara Memperbaiki Komunikasi dengan Anak Menurut Ibu Elly Risman
Jadi kita musti gimana dong? Menurut ibu Elly Risman, semua itu berawal dari komunikasi. Yuk, kita perbaiki gaya komunikasi kita dengan anak dan pasangan dengan cara:
1. Bicara jangan tergesa-gesa.
Ajak anak untuk belajar membuat rencana, belajar berpikir, memilih dan mengambil keputusan supaya dia bisa mandiri dan bertanggungjawab.
Misalnya: tiap minggu bikin daftar menu, kakak mau sarapan pake apa, adik apa. Lalu ajak mereka untuk berbelanja, suruh pilih sendiri bahan-bahan yang mereka perlukan untuk sarapannya selama 1 minggu itu. Konsekuensinya kalau suatu hari dia nggak mau makan apa yang sudah dipilihnya ya biarin aja.
2. Belajar untuk mengenali diri kita dan mengenali lawan bicara kita (anak, suami, ART, ortu, saudara, tetangga, teman kerja).
Coba kita lihat diri kita sendiri, apakah pola asuh orangtua kita dulu memberikan efek positif atau negatif. Seandainya kita diperlakukan seperti contoh di atas, gimana perasaan kita.
3. Ingat: setiap individu itu UNIK.
Iyalah kita aja pasti nggak suka kan kalo pasangan banding-bandingin kita sama istri temennya. Nah, anak juga begitu. Jangankan sama anak tetangga, yang keluar dari rahimnya bareng alias kembar aja beda.
4. Pahami bahwa kebutuhan dan kemauan: BERBEDA.
Seringkali kita memaksakan kemauan kita kepada anak, padahal apa yang dia butuhkan bukan itu. Contoh sederhana ketika anak bilang,
Anak: “Haus ma,”
Mama: “Minum susu.”
Anak: “Nggak mau susu, ma. Es teh aja, aku pengen yang seger-seger.”
Mama: “Eh, mama bilang minum susu. Ntar kuntet kamu nggak mau minum susu!”
5. Baca bahasa tubuh
Ketahui bahwa action speaks louder than words dan bahasa tubuh nggak pernah bohong. Misalnya: anak pulang sekolah mukanya cemberut, buka sepatu sambil dilempar. Kita tanya, “Kenapa kak?” Dia jawab, “Nggak papa!” lantas masuk kamar sambil banting pintu. Itu bukan berarti dia beneran nggak apa-apa lho. Pasti kenapa-kenapa. Dan kita nggak boleh cuek.
6. Dengarkanlah perasaan.
Tandai pesan yang terlihat, jangkau rasa, buka komunikasi dengan anak. Namakan perasaan yang tampak pada pesan itu. Misalnya saat melihat anak pulang sekolah dengan wajah cemberut kita bisa bilang,
Mama: “Wah, anak mama udah pulang nih. Kenapa kok cemberut gitu (menandai pesan)? Kakak capek ya (menjangkau rasa)?”
Anak: “Enggak papa!” *lempar tas*
Mama: “Ooooh, kakak laper ya (buka komunikasi)”
Anak: “Enggak kok. Nggak laper!”
Mama: “Oooo, anak mama lagi kesel banget ya (menamakan perasaan)”
Anak: “Enggak maaaaa! Aku tuh lagi benciiiiiiiii!”
Mama: “Kakak lagi benci ya. Benci sama siapa?”
Anak: “Tadi ya ma, PRku kan ketinggalan. Trus aku distrap di depan kelas.”
Mama: “Wah, malu banget dong kak.”
Anak: “Nggak cuma itu aja ma, waktu aku distrap, si Edi tuh masak julurin lidah ke aku.”
Mama: “Kesel dong kak, digituin”
Anak: “Iya ma… blablabla”
Teruskan sampai anak tuntas bercerita. Jangan dipotong, disalahkan bahkan dinasehati. Pancing aja terus dengan mengungkapkan perasaan-perasaan yang tersirat dalam setiap ucapannya.
Baca Juga: 20+ Pertanyaan Tentang Keseharian Anak Sepulang Sekolah
7. Hindari 12 gaya populer dalam berkomunikasi
Menurut Ibu Elly Risman, ada 12 gaya populer dalam berkomunikas. Meski populer tapi ternyata salah, lo. Apa saja?
12 Gaya Populer Dalam Berkomunikasi
- Memerintah
- Menyalahkan
- Meremehkan
- Membandingkan
- Mencap/melabel
- Mengancam
- Menasehati
- Membohongi
- Menghibur
- Mengeritik
- Menyindir
- Menganalisa.
Jika kita terus menerus menggunakan gaya komunikasi dengan anak seperti ini, akibatnya anak tidak percaya akan perasaannya sendiri, sehingga ia bisa merasa nggak percaya diri.
Konsep dirinya hancur dan nggak bisa menghargai dirinya sendiri. Selain itu kalau kita berbohong, jiwa anak akan goyang alias labil yang akhirnya bisa mengakibatkan mentally breakdown.
8. Tentukan: masalah siapa?
Masalah anak atau ortu? Dibantu atau dibiarkan? Hidup adalah pilihan dan pilihan. Misalnya: anak ketinggalan PR -> masalah anak, dibantu atau dibiarkan -> dibiarkan. Kenapa? Supaya anak belajar konsekuensi ketinggalan PR itu apa.
9. Mendengarkan secara aktif.
To listen atau mendengarkan berbeda dengan to hear atau mendengar. Mendengarkan secara aktif berarti melibatkan perasaan.
Jadilah cermin, pilih kata-kata yang menunjukkan kita mengerti apa yang dirasakan orang yang sedang bicara dengan kita. Seperti: “Oooo… gitu.” “Sedih bener dong, kamu.” “Kecewa ya?”
Seringkali orang curhat itu hanya karena ia ingin didengarkan, bukan untuk dinasehati apalagi disalahkan.
10. Sampaikan PESAN SAYA.
Marah itu boleh banget, kalo enggak nanti bisa stroke. Tapi gunakan pesan “Saya”, misalnya: bilang, “Mama kesal kalau kakak pulang sekolah copot sepatu di dalam rumah karena lantai jadi kotor” instead of “Ya ampun kakak, nggak bisa apa copot sepatu dulu! Liat deh, lantai jadi kotor! Kamu ini bandel banget, nggak tau apa mama capek ngepel lantai” Dueeeenng!
Yah, selama seminar itu saya sempat beberapa kali mau nangis sih, mengingat banyaknya kesalahan komunikasi yang saya lakukan ke Cinta. Sampai di rumah berusaha banget untuk memperbaiki hal itu. Tapi ternyata sulit.
Kebiasaan selama hampir 4 tahun ternyata nggak bisa dihilangkan hanya dalam 1 malam. Bahkan selama 1 minggu ini masih harus tetap belajar untuk memperbaiki komunikasi. Asli nggak gampang, kadang kalo lagi capek ya kalimat-kalimat negatif suka keluar. Tapi ya harus konsisten, ulang dari awal lagi dan memang tantangannya di situ.
Saya belajar tentang hal ini dan berusaha supaya berhasil, karena kepengen bisa menjalin komunikasi yang baik dengan Cinta (dan adek-adeknya kalo dikasih). Supaya kalau dia remaja nanti tetap saya yang jadi tempatnya curhat seperti Lorelai dan Rory Gilmore di serial tv favorit Gilmore Girls. Bukannya curhat ke sesama anak baru gede yang juga lagi mencari identitas diri. Doakan saya ya.
Eh ya, menurut ibu Elly Risman, it takes a village to raise a child. Maksudnya, untuk menghasilkan anak Indonesia yang berkepribadian tangguh, memiliki konsep diri yang baik dan tidak mudah terpengaruh hal-hal buruk dibutuhkan kerjasama dari seluruh keluarga di Indonesia.
Jadi mari sama-sama belajar berkomunikasi yang baik dengan keluarga demi anak Indonesia yang sehat fisik dan mentalnya.
Disarikan dari Seminar “Komunikasi Pengasuhan Anak” oleh Ibu Elly Risman, Psi dari Yayasan Kita dan Buah Hati yang diselenggarakan oleh Supermoms Indonesia, sebuah komunitas mommies peduli pengasuhan anak.
alfakurnia
Lifestyle blogger yang suka berbagi tentang review produk, kisah sehari-hari, pengalaman parenting dan banyak lagi. Juga suka menulis resensi buku dan produk skincare di blog alfakurnia.com
2 thoughts on “Komunikasi Efektif dalam Mengasuh Anak”
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan
Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.
hmmm…sulit juga ya ternyata klo begitu tapi ahtus bisa…
aku bisa..aku pasti bisa..
yang penting sabar dan konsisten… pasti bisa 🙂