THR untuk Anak. Yaiy or Nay?

Libur Lebaran sudah usai ya. Banyak dari kita yang sudah kembali beraktivitas secara normal setelah menghabiskan akhir minggu berkunjung ke sanak saudara untuk merayakan Idul Fitri. Saya sendiri tahun ini nggak mudik ke Indonesia dan merayakan Lebaran hanya di Brunei. Kalau biasanya hari Raya selalu berkumpul bersama keluarga besar, kali ini cukup berempat saja. Lumayan sepi hehehe.

Nah, di tengah-tengah sunyinya berhari raya tanpa ada anak-anak tetangga yang datang ke rumah untuk minta angpau, saya baca ceritanya Uwi di Path tentang anak-anak di daerahnya yang sengaja bersilaturahmi ke rumah tetangga saat hari raya hanya untuk mendapatkan angpau atau Tunjangan Hari Raya (THR). Cerita tersebut membuat saya teringat pengalaman hunting THR jaman dahulu kala. Berhubung mau komen di status bakalan panjang sekali, akhirnya memutuskan untuk bikin blog post aja deh.

Kebetulan di keluarga besar saya tradisi bagi-bagi THR ini bisa dibilang antara ada dan tiada. Dulu waktu masih kecil-kecil, usia SD gitu lah, biasanya almarhum Opa dari mama yang suka bagi-bagi THR ke cucu-cucunya. Itupun hanya saat semua cucunya kumpul semua yang nggak selalu terjadi tiap Lebaran.

Sementara dari Bude, Pakde, Om dan Tante kadang dapat kadang enggak tapi waktu itu rasanya dapat THR bukanlah hal yang paling ditunggu meskipun tetap menyenangkan. Buat kami keistimewaan Lebaran adalah bisa berkumpul dan bermain bersama para sepupu sambil menyantap masakan khas Lebaran ala almarhumah Mami (nenek).

Baru setelah merayakan Lebaran bersama papa, saya mengalami yang namanya hunting THR. Bersama anak-anak tetangga, kami berkeliling dari satu rumah ke rumah yang lain untuk bersilaturahim, makan kue dan mendapat salam tempel. Jumlahnya bervariasi, mulai dari Rp 100 sampai Rp 5000. Rasanya senang sekali dalam sehari bisa dapat banyak uang meskipun pada akhirnya uang-uang tersebut habis tak berbekas untuk jajanan dan mainan-mainan kecil atau kadang entah menghilang kemana.

Kalau diingat-ingat lagi sekarang rasanya kok malu ya hahaha. Dulu niat banget sampai rumah yang jauh pun kami datangi, padahal kenal pun enggak. Tanpa dampingan orang tua lagi. Padahal mama selalu mengingatkan untuk nggak boleh minta-minta ke orang lain. Jangankan ke orang tak dikenal, minta dibelikan boneka ke nenek sendiri aja sampai dimarahin.

Setelah punya anak dan ponakan, saya dan suami pun awalnya nggak membiasakan diri memberikan angpau untuk mereka. Mama, papa, mertua, adik-adik dan ipar pun lebih suka ngasih hadiah berupa barang seperti baju atau mainan.

Namun 3 tahun belakangan ini setelah jumlah ponakan semakin banyak, adik-adik dan ipar pun mulai menyiapkan THR untuk ponakan-ponakannya. Akhirnya saya pun mengikuti jejak mereka. Tapi ini khusus untuk anggota keluarga karena kebetulan memang jarang sekali ada anak-anak tetangga yang datang berkunjung ke rumah untuk berlebaran. Kalaupun ada mama dan mertua sudah menyiapkan amplop khusus untuk mereka. Jadi ya saya nggak perlu nyiapin lagi hihihi.

Cinta sih senang ya dapat THR, biasanya dia gunakan untuk membeli mainan yang sudah lama diidamkan atau main di FunWorld. Belakangan ini uangnya dia titipkan ke saya untuk ditabung. Dan sejak mengenal konsep berbagi dia nggak segan mengeluarkan uangnya untuk memberikan sumbangan pada anak-anak yang kurang mampu atau membelikan adiknya sesuatu.

Buat saya pribadi tradisi memberikan THR kepada anak atau keponakan dan keluarga dekat adalah hal yang baik asal disertai pesan untuk menggunakan uang tersebut sebaik mungkin.

Sedangkan untuk anak-anak, awalnya saya selalu berpesan untuk tidak meminta uang atau barang kepada orang lain, apalagi ke kakek neneknya. Mereka cuma boleh minta ke kami orang tuanya. Namun, namanya kakek nenek, tante, bude, om kan pengen juga ya menyenangkan cucu dan keponakannya, jadi saya ijinkan anak-anak untuk menerima tawaran mereka untuk membelikan sesuatu. Tentu dengan nominal yang nggak terlalu besar. Toh, saya juga masih senang kalau ditraktir mama atau papa makan atau belanja sesuatu hihihi.

Momen pemberian THR ini bisa kita manfaatkan untuk mengajarkan anak berbagi. Ajak mereka bersama-sama menghitung uang yang didapat lalu menyisihkan sebagian uang yang mereka terima untuk berbagi dengan sesama. Entah dengan menyerahkan langsung ke kerabat yang kurang beruntung dalam bentuk barang maupun uang maupun lewat kotak-kotak sumbangan yang banyak bertebaran di supermarket atau tempat makan.

Ajak juga mereka untuk menyimpan sebagian uangnya di celengan atau bank sambil dijelaskan manfaat menabung. Untuk anak-anak yang lebih besar, sarankan mereka menggunakan uangnya untuk membeli barang yang bermanfaat supaya nggak habis begitu saja. Beberapa anak pra remaja yang saya kenal baik bisa membeli smartphone atau tablet dari uang THRnya. Beberapa lagi membeli peralatan sekolah yang pasti bermanfaat terutama di tahun ini yang libur Lebaran bertepatan dengan awal tahun ajaran baru di Indonesia.

Yang paling penting adalah mengajarkan kepada anak-anak bahwa Hari Raya tidak identik dengan angpau atau THR. Kalau ada yang memberi ucapkan terima kasih atas kebaikan mereka tapi kalau tidak diberi jangan sampai meminta apalagi sampai punya anggapan orang yang nggak ngasih THR itu pelit.

Hari Raya adalah momen berkumpul bersama keluarga, mempererat ikatan persaudaraan, menyambung tali silaturahim. Bermain bersama sepupu yang belum tentu sebulan sekali bisa jumpa, bermanja-manja pada nenek dan kakek dan berbagi cerita dengan tante atau paman merupakan pengalaman yang tak ternilai harganya.

Seperti yang disarankan oleh Asrorun Niam, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam sebuah artikel di detiknews,

Lebaran harus jadi momentum yang baik untuk merekatkan hubungan harmoni dengan seluruh anggota keluarga, serta keluarga besarnya. Ini bisa menjadi jawaban dan solusi atas berbagai permasalahan anak kontemporer, seperti kekerasan anak, penelantaran, kenakalan remaja yang seringkali pemicunya adalah tidak hadirnya lembaga keluarga dalam menjamin perlindungan terhadap anak-anaknya.

Lebaran harus dimanfaatkan untuk memberi pengalaman spiritual bagi anak, yang menyenangkan dengan merekatkan tali silaturrahmi dengan handai taulan dan menjelaskan arti kekerabatan. Termasuk juga mengajarkan anak-anak akan pentingnya merajut persaudaraan, etika relasi dengan yang lebih tua, menghormati yang lebh tua serta menyayangi yang lebih muda.

Suka dengan artikel ini? Yuk bagikan :)

alfakurnia

Lifestyle blogger yang suka berbagi tentang review produk, kisah sehari-hari, pengalaman parenting dan banyak lagi. Juga suka menulis resensi buku dan produk skincare di blog alfakurnia.com

2 thoughts on “THR untuk Anak. Yaiy or Nay?

  1. Setuju Nia, tp memang sejak kecil aku gak terbiasa keliling ke tetangga dan dapet uang dr mereka hihi, jd ga pernah ngalamin, hanya duduk bertamu stelah salaman dan makan kue2 yg ada, tradisi thr hanya ada di keluarga besar saja baik mama n papa jd sampe skr devan jg cm ngerti thr itu hanya dari kakek nenek dan sanak saudara 🙂

    1. Iya, mbak Win. Aku juga ngikut hunting thr gitu cuma dua kali kalau nggak salah. Kan karena papa mama pisah jadi kadang lebarannya ke sana ke sini hihihi. Anak-anak juga tahunya dapat thr tuh dari keluarga dekat. Tapi pernah juga dapat dari temen2ku kalau pas ketemu bukber gitu. Di sini pernah dapat angpau dari teman yang merayakan Imlek atau dari bosnya papaCinta pas tahun baru. Yaa alhamdulillah, namanya rejeki nggak boleh ditolak ya hihihi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top
error: Content is protected !!