The Chronicle of Narnia: The Voyage of the Dawn Treader

Saya memang bukan fan berat Narnia bahkan belum pernah baca bukunya, tapi setelah melihat beberapa filmnya di saluran HBO, saya berniat untuk nonton sequel yang ini. Apalagi suami mau menemani, jadi inilah kesempatan untuk pacaran berdua tanpa Cinta.

Itupun pakai acara nyaris terlambat dan dapat kursi di barisan nomor 2 dari depan yang lumayan bikin pegal leher dan mata. Dan ternyata saya menaruh harapan terlalu tinggi terhadap film ini, apalagi karena sebelumnya nonton Harry Potter. Saya pikir, minimal selevel dengan HarPot. Meskipun demikian banyak yang bisa dipelajari dari The Voyage of the Dawn Treader. Tapi hal yang paling menyenangkan adalah bisa nonton berdua suami setelah sekian tahun 😀

Back to Narnia, semua orang pasti punya comfort zone, sebuah tempat atau kondisi di mana kita selalu merasa nyaman dan aman. Lingkungan yang selalu menyenangkan dan membuat kita merasa terlindungi serta bisa dikendalikan. Buat saya, mungkin comfort zone itu adalah rumah mama saya, tempat yang selalu saya rindukan saat sedang gundah dan merasa keadaan terlalu berat atau menjemukan. Lucy dan Edmund Pevensie selalu punya Narnia sebagai “rumah” yang mereka rindukan. Apalagi di sequel terbaru ini mereka harus tinggal di rumah paman dan bibi bersama sepupu Eustace Scrubb yang menyebalkan.

Lucy, Edmund dan Eustace terlibat dalam petualangan baru bersama King Caspian X dan kapal Dawn Treader untuk mencari 7 bangsawan Narnia yang hilang. Ternyata pencarian itu membawa mereka dalam pertempuran melawan kekuatan jahat yang ada di balik Dark Island. Eustace yang awalnya adalah anak manja, usil dan menyebalkan berubah menjadi seekor naga karena keserakahannya ketika melihat tumpukan emas di Deathwater Island. Tapi perubahan itu justru membuat Eustace menjadi pribadi yang lebih baik berkat bimbingan tikus yang bisa ngomong Reepicheep.

“Before you defeat the darkness out there, first you have to defeat the darkness inside yourself” – Coriakin

Caspian, Lucy dan Edmund juga harus berperang melawan “kegelapan” dalam diri mereka. Caspian yang begitu ingin membanggakan ayahnya sangat khawatir ketika bayangan sang ayah berkata bahwa ia mengecewakan. Sedangkan Lucy sangat berharap bisa menjadi secantik Susan, kakaknya yang anggun, sehingga ia mencuri mantra dari kastil Coriakin. Edmund sendiri merasa lelah menjadi “orang nomor dua” dalam keluarga maupun Narnia. Dia dibayangi oleh White Witch yang berjanji menjadikannya raja di Narnia jika Edmund mau ikut dengannya.

Kita juga pasti punya ketakutan atau sisi gelap dalam diri masing-masing, seringkali hal itu yang menghambat kita untuk melangkah ke arah yang lebih baik atau bahkan menjadikan kita pribadi yang tidak menyenangkan. Tapi ketika kita bisa mengenali ketakutan itu dan mengatasinya, change might happen, either it become better or worse but always worth taking. Pun, senyaman-nyamannya kita berada di comfort zone, untuk bisa maju mau nggak mau harus keluar dari lingkungan tersebut. Pasti dibutuhkan banyak usaha, keberanian, kepedihan untuk bisa keluar dari situ. Ketika menghadapi tantangan tersebut pun ada dua pilihan, yang pertama adalah berhenti dan terus mengeluh atas hidup yang kita jalani. Atau terus berjuang sampai bisa merasa nyaman akan diri sendiri sehingga di manapun berada, kita akan selalu bisa menemukan zona nyaman itu.

Suka dengan artikel ini? Yuk bagikan :)

alfakurnia

Lifestyle blogger yang suka berbagi tentang review produk, kisah sehari-hari, pengalaman parenting dan banyak lagi. Juga suka menulis resensi buku dan produk skincare di blog alfakurnia.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top
error: Content is protected !!