“Untuk apalagi sih kamu datang ke sini?”

Aku mendengar suara gusar bunda. Bergegas kuturuni tangga untuk menuju asal suara.

“Aku ingin menemui kalian. Menengok keadaan si kecil.”

Hmmm… Suara itu lagi. Akhir-akhir ini semakin sering kudengar suara itu beradu pendapat dengan bunda. Tapi tak pernah sempat kulihat sosoknya.

“Rasti bukan anak kecil lagi. Dia sudah SMA. Sudahlah berhentilah menemui kami.” Geram bunda.

“Aku hanya ingin memintakan maaf untuknya, Rani. Masih tak sudikah kau memaafkannya?”

“Untuk semua yang telah ia perbuat pada kami? Aku dan Rasti?!” Sentak bunda.

“Baiklah, aku akan pergi. Tapi terimalah ini Rani. Pasti sangat berguna untuk pengobatanmu.”

“Sudah tak ada gunanya lagi, Joe. Semua sudah terlambat. Aku tinggal menghitung hari.” Suara bunda melemah.

Aku mempercepat langkah menuju pintu. Kali ini harus bisa kutemui lelaki itu sebelum bunda mengusirnya seperti biasa.

“Pergilah, Joe. Jangan datang lagi. Sudah cukup sampai di sini. Toh sudah tak ada lagi hubungan di antara kita. Dia sudah pergi. Sebentar lagi akupun menyusul.” Isak bunda sambil menutup pintu. Sekilas kulihat lelaki itu akan beranjak pergi.

“Om! Tunggu!”

Bunda dan lelaki itu terkejut mendapatiku sudah berada di antara mereka.

“Siapa dia, Bun?” tanyaku. “Kenapa dia selalu datang dan Bunda selalu mengusirnya?”

Kulihat mereka berpandangan. Bunda menghela nafas.

“Om ini sahabat ayah, Ras. Karena dialah ayah meninggalkan kita.”

“Maksud Bunda?”

“Maafkan aku Rasti. Tapi aku dan ayahmu sudah saling mencintai sejak ia belum bertemu Rani, ibumu. Aku tahu ia bahagia hidup dengan kalian tapi ternyata cinta itu tak pernah hilang. Aku…” Ucapnya lemah.

“Cukup, Joe!” Potong bunda.

Aku tercekat. “Lalu di mana ayah sekarang?”

“Dia sudah meninggal sebulan lalu. Karena penyakit yang ia tularkan pada ibumu. Penyakit yang ia dapat dariku. Seharusnya Seno bisa hidup lebih lama. Tapi rasa bersalahnya pada kalian makin menggerogoti tubuhnya. Tolong maafkan dia ya, Ras. Doakan agar ia tenang di kuburnya.” Pinta lelaki itu sebelum melangkah pergi.

Aku terdiam. Kutatap wajah bunda yang pucat. Kuraih tangannya yang kini makin kurus.

Maafkan aku, Bunda. Aku baru tahu seberat ini beban yang Bunda tanggung sejak ayah pergi 5 tahun yang lalu. Sejak itu aku membencinya. Aku benci semua laki-laki. Hanya pada Dita sahabatku hatiku berlabuh. Maafkan aku, Bunda. Mohon jangan salahkan aku jika sejarah berulang.

380/500

Ditulis untuk Prompt #15 Monday Flash Fiction

Suka dengan artikel ini? Yuk bagikan :)

alfakurnia

Lifestyle blogger yang suka berbagi tentang review produk, kisah sehari-hari, pengalaman parenting dan banyak lagi. Juga suka menulis resensi buku dan produk skincare di blog alfakurnia.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top
error: Content is protected !!