Bermain Dengan Makanan. Ya atau Tidak?

Bermain Dengan Makanan. Ya atau Tidak?

Bermain dengan makanan selalu jadi dilema bagi saya. Saking galaunya beberapa waktu yang lalu saya pernah pasang status tentang perasaan saya melihat makanan atau bahan makanan yang dipakai sebagai alat permainan untuk anak-anak, khususnya batita.

Kalau liat DIY mainan anak-anak yang berbahan beras, pasta, biji-bijian gitu tiap mau ikutan bikin rasanya kok eman-eman ya. Pernah ding beberapa kali bikin beras dan makaroni yang sudah hampir kadaluwarsa diwarnain, spaghetti yang sudah dimasak juga dikasih pewarna, trus buah dipotong-potong jadi stempel. Mainnya sih seru, giliran beberes terus ngebuang makanan-makanan itu jadi nyesel. Sayang aja gitu. Sama kek buang makanan sisa. Sedih.

Status ini saya buat karena sering sekali melihat permainan sensoris yang menggunakan makanan atau bahan makanan sebagai alatnya. Seperti beras warna-warni, pasta (mentah maupun dimasak), tepung, kacang-kacangan dan sebagainya. Saya mengerti sih, alasan memakai bahan makanan adalah untuk keamanan anak dan kepraktisan.

Maklum, anak usia di bawah 3 tahun memang masih sering memasukkan sesuatu ke mulutnya sehingga diperlukan permainan yang aman. Untuk itu biasanya orangtua membuatkan alat permainan dari makanan yang dipercaya lebih aman untuk anak. Ya, maksudnya sih nggak beracun gitu, kalau bahaya tersedak atau tertelan sepertinya masih tetap ada.

Bermain dengan makanan juga lebih praktis bagi orangtua ketimbang mengumpulkan batu-batuan, pasir, daun-daunan kering, beads dan benda-benda lain. Sementara tepung, beras, kacang-kacangan, cereal, pewarna makanan, agar-agar, oatmeal, pasta adalah bahan-bahan yang biasanya tersedia di dapur. Jadi kalau perlu tinggal ambil saja untuk diolah sebagai alat permainan.

bermain dengan makanan

Selain itu sebenarnya bermain dengan (bahan) makanan sudah biasa dilakukan oleh anak-anak pra sekolah sejak dulu, ya setidaknya sejak saya masih TK lah. Masih ingat kah teman-teman membuat prakarya dengan menempel beraneka kacang-kacangan di atas kertas yang sudah ada template gambarnya? Atau membuat karya seni dari potongan kentang, bengkuang atau buah belimbing yang diberi pewarna? Aktivitas serupa juga saya lakukan saat masih jadi asisten guru di Sanggar Kreativitas yang dikelola oleh fakultas tempat saya kuliah sekian belas tahun yang lalu. And it was super fun for the kids and the teachers.

Ada manfaat yang bisa didapat dari kegiatan bermain dengan makanan ini. Pertama, anak bisa bereksplorasi dengan aman sekaligus mengenal bahan-bahan makanan yang biasa dimakan. Hal ini dipercaya bisa mengurangi kecenderungan picky eater. Kedua, anak dapat belajar science dengan menggunakan buah atau sayur sebagai pewarna alami. Ketiga, juga dilakukan dengan benar, anak juga dapat belajar keterampilan dasar di dapur seperti mencuci beras, membersihkan sayuran, mengupas buah-buah also how to stay safe in the kitchen.

Namun entah kenapa saya pribadi selalu memiliki perasaan bersalah setiap kali mencoba bermain dengan bahan makanan, khususnya beras dan pasta. Mungkin karena dua benda ini adalah bahan makanan pokok untuk sebagian besar orang. Apalagi dengan kondisi ekonomi seperti sekarang di mana semakin banyak orang yang susah untuk makan sehari-hari rasanya saya nggak bisa membuang-buang beras atau pasta.

Kalau tepung-tepungan, biji-bijian dan bumbu dapur sih masih oke karena belum berhasil menemukan bahan pengganti untuk membuat playdough dan aneka dough lain. Lagipula saya mikirnya kalau tepung kan harus diolah dulu dengan bahan lain untuk dijadikan makanan, begitu juga biji-bijian. Rasanya jarang menemukan orang makan kacang hijau rebus begitu saja kan.

Solusinya sih sementara ini saya berusaha memakai bahan makanan yang memang sudah tidak layak dimakan, misalnya mendekati tanggal kedaluwarsa. Atau sudah lama dibuka dari kemasannya tapi sisa yang belum terpakai masih banyak sementara saran penggunaan maksimal beberapa minggu setelah kemasan dibuka.

Tapi, seminggu yang lalu saya tergoda untuk membuat beras warna warni memakai beras baru. Senang deh bikinnya, apalagi karena berhasil membuat warna-warna yang cantik dan beras tetap kering. Keenan pun senang mainnya karena selama ini memang dia suka sekali mainan beras yang ada di dalam tempat penyimpanan beras. Persis seperti kakak Cinta dulu. Saya pikir biar deh sekali ini dibikinkan mainan khusus dari beras yang bisa dipegang-pegang tanpa harus saya larang. Lagipula harapan saya bisa disimpan untuk berkali-kali pakai. Ternyata kenyataannya nggak seperti itu. Saat dipakai main beras berwarna-warni itu langsung dicampur-campur dan berhamburan ke lantai. Alhamdulillah sih sebagian besar berhasil diselamatkan tapi sebagian lain terpaksa harus dibuang.

Mungkin membuang bahan makanan buat sebagian orang bukanlah hal yang luar biasa. Saya pun dulu begitu. Kalau makan nggak habis baik di rumah atau di restoran ya sudah ditinggal saja. Ada sisa masakan pun langsung dibuang. Tapi setelah bekerja dan merasakan suka duka mencari uang sendiri serta capeknya masak mulai dari mikir menu, ngerajang bumbu, mengolah bahan sampai nyuci perkakas masaknya, pelan-pelan perilaku seperti itu berkurang. Yang ada sekarang kalau anak-anak nggak habis makannya ya terpaksa saya yang makan. Atau kalau ada sisa masakan disimpan untuk dimakan lagi besok atau didaur ulang menjadi makanan baru.

Lagipula dengan memakai makanan sebagai bahan permainan sensoris, terutama yang sudah dimasak, saya khawatir Keenan akan menganggap kalau makanan memang BOLEH dibuat mainan. Dan ini sudah terjadi beberapa kali. Akhir-akhir ini Keenan sudah semakin pandai mengambil sesuatu dari tempat yang tinggi dan membuka sendiri pintu lemari dapur yang telah diamankan dengan “kunci” khusus. Nggak jarang tiba-tiba dia sudah ambil container isi tepung dari dalam lemari atau susu bubuk dari atas rak lalu dibuat mainan. Tadi sore saat saya menghaluskan tahu untuk dimasak, tiba-tiba ada tangan mungil berusaha meraih piring isi tahu dan setelah berhasil dia ikut memasukkan tangannya ke dalam piring dan meremas-remas tahu.

Benar sih, dia cuma ingin tahu apa yang sedang mamanya masak dan bagaimana tekstur benda-benda tersebut. Begitu dia mengerti kalau tahu itu dingin dan lembut ya sudah nggak tertarik untuk bermain lebih jauh. Lain halnya dengan tepung yang bisa bikin dia betah mainnya. Belum lagi makanan di piring yang kadang dimasukkan ke dalam gelas, memindahkan isi minuman dalam gelas satu ke gelas lain. Hadeh, gemes aja gitu lihatnya.

Maka itu sekarang saya berusaha lebih membatasi penggunaan makanan mentah apalagi matang untuk mainan. Meski repot mengumpulkannya, masih banyak benda lain yang bisa digunakan untuk isi meja sensoris seperti water beads, sobekan kertas, batu akuarium, pasir, dedaunan dan ranting pohon atau manik-manik. Tentu sesekali saya nggak keberatan Keenan mengenal bahan-bahan makanan selama itu dalam konteks membantu saya memasak atau membuat kue, bukan khusus untuk bermain.

Dan ternyata setelah lebih rajin browsing ke sana ke mari, masih banyak benda yang bisa digunakan sebagai filling sensory bin selain makanan. Seperti di bawah ini:

Earth sensory bin with water beads.

Earth Sensory Bin Earth Day Activity

Frozen blocks of ice.

Favourite non-food sensory play ideas shared by http://youclevermonkey.com

Kalau menurut teman-teman, oke kah bermain dengan bahan makanan?

Suka dengan artikel ini? Yuk bagikan :)

alfakurnia

Lifestyle blogger yang suka berbagi tentang review produk, kisah sehari-hari, pengalaman parenting dan banyak lagi. Juga suka menulis resensi buku dan produk skincare di blog alfakurnia.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top
error: Content is protected !!